Home Hukum Prof. Dominikus Rato: MK Cetak Sejarah jika Kabulkan Permohonan APHA soal Masyarakat Adat

Prof. Dominikus Rato: MK Cetak Sejarah jika Kabulkan Permohonan APHA soal Masyarakat Adat

Jakarta, Gatra.com – Guru Besar Hukum Adat dan Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si., Mahkamah Konstitusi (MK) membuat sejarah terhadap perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat jika mengabulkan permohonan dari Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA).

Prof. Rato pada Senin, (30/7), menyampaikan, perlindungan terhadap masyarakat hukum adat ini sangat penting sehingga APHA mengajukan uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Kementerian Negara terhadap UUD 1945.

Adapun pasal yang diuji oleh APHA ini adalah Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ia menjelaskan, jika putusan MK ini melahirkan kementerian khusus yang menangani masyarakat hukum adat ini merupakan sejarah karena kementerian yang mengelola urusan masyarakat hukum adat itu sangat substansial.

“Pertama, itu melaksanakan konstitusional yang diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Jadi, itu penting sekali,” katanya.

Menurut Prof. Rato, dengan adanya atau didirikannya Kementerian Masyarakat Hukum Adat maka negara memberikan perhatian lebih kepada masyarakat hukum adat yang terdapat di seluruh Indonesia.

“Ya, betul. Jadi, negara itu memberikan perhatian khusus terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya,” katanya.

Lebih lanjut Prof. Rato menyampaikan, saat ini berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masyarakat hukum adat tersebar di berbagai kementerian, sehingga tidak fokus mengelola urusan terkaitan dengan hak tradisional masyarakat hukum adat.

“Salah satu contoh, ada Direktur Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kemendikbud [Kemendikbudristek]. Yang seharusnya ini tidak di Kemendikbud, [harus] ada kementerian khusus,” ujarnya.

Contoh lainnya, lanjut Prof. Rato, di Pemda Bali itu ada dinas yang khusus mengelola tentang masyarakat hukum adat. Menurutnya, dinas ini penting kalau seandainya diangkat ke tingkat nasional, yakni dengan mendirikan kementerian yang khusus mengurusi masyarakat hukum adat.

Satu dinas di Pemda Bali yang khusus mengurusi masyarakat hukum adat ini memberikan contoh yang bagus untuk memberikan perhatian khusus kepada masyarakat hukum adat di seantero Indonesia dengan mendirikan kementerian tersendiri yang khusus mengelola urusan-urusan masyarakat hukum adat.

“[Ini harusnya] tidak hanya di Bali, seluruh Indonesia. Jadi seluruh Indonesia yang ada masyarakat hukum adat itu juga perlu diperhatikan,” ujarnya.

Sedangkan pada sidang perdana perkara Nomor 67/PUU-XXII/2024 pada Senin, (21/7/2024), hakim panel MK memberikan masukan kepada APHA untuk memperbaiki permohonan uji materi, Prof. Rato menyampaikan, itu merupakan langkah positif.

Adapun hal-hal yang diminta majelis hakim untuk diperbaiki dalam permohonan uji materi ini, kata dia, di antaranya soal legal status dari pemohon dan bidang-bidang apa yang menjadi urusan kementerian jika kementerian masyarakat hukum adat yang dimohonkan itu dikabulkan.

“Hakim MK itu justru memberikan pendoman pada pemohon untuk benar-benar fokus terhadap siapa yang menjadi subjeknya dan apa objek perkara. Itu harus betul-betul fokus. Dispesifikan kembali,” katanya.

Prof. Rato mengharapkan MK mengabulkan permohonan uji materi pasal dari UU Kementerian Negara yang dimohonkan oleh APHA. Menurutnya, ada banyak keuntungan yang diperoleh jika MK mengabulkan permohonan.

“Yang pertama, putusan MK ini bisa memberikan inspirasi kepada DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Kenapa, karena ini objek hukum adat. Mengapa ini penting, berkaitan dengan Pasal 2 KUH Pidana,” katanya.

Ia menjelaskan, melalui Pasal 2 KUH Pidana tersebut negara ini mau membuat peraturan pemerintah tentang hukum tindak pidana adat yang akan diatur dengan peraturan daerah (Perda).

“Itu kan objeknya. Tetapi subjek hukumnya siapa. Nah, oleh karena itu, yang penting adalah subjek hukum adat ini, yang namanya masyarakat hukum adat ini, harus diberi undang-undang,” katanya.

Karena itu, harus disahkan dulu status hukum ini sebagai subjek hukum. Karena masyarakat hukum adat ini punya dua fungsi. Pertama, dia sebagai subjek hukum adat. Kedua, masyarakat hukum adat sebagai legal field. Wilayah bekerjanya hukum adat.

Ia menjelaskan, Indonesia mempunyai banyak hukum adat dan satu sama lain berbeda-beda. Artinya, setiap masyarakat hukum adat mempunyai hukum adat tersendiri dan tidak berlaku untuk masyarakat hukum adat lainnya.

“Ini namanya wilayah bekerjanya hukum adat. Wilayah bekerjanya hukum adat ini namanya masyarakat hukum adat. Hukum adat ini kan sangat spesifik,” katanya.

Saat ini, ujar Prof. Rato, negara sedang memperhatikan hukum adat, baik yang diatur dalam Pasal 2 KUH Pidana maupun dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang hanya mengatur objek tetapi tidak mengatur subjeknya.

Karena itu, Prof Rato berpendapat bahwa sangat penting Mahkama Konstitusi sebagai lembaga negarawan untuk merealisasikan Pancasila, terutama silan ketiga, Persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia dari masyarakat yang ber-Bineka Tunggal Ika.

“Ini kan harus diberi dasar hukum. Mudah-mudahan, MK memberikan harapan pada masyarakat hukum adat,” katanya.

Adapun Pasal 5 Ayat (2) UU Kementerian Negara yang diuji oleh APHA dalam perkara ini, yakni Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial. Ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.

Salah satu kuasa hukum APHA, Aditya Ramadhan Harahap, menyebutkan, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebab dalam urusan pemerintahan, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih sebatas formalitas. Mereka hanya dijadikan sebagai objek peraturan, namun tidak diberikan kesempatan untuk menjadi subjek dari suatu peraturan.

Bahkan masyarakat hukum adat termarjinalkan dalam proses pembangunan, utamanya terkait keberadaan tanah adat atau ulayat milih masyarakat adat tersebut. Selain itu, dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan masyarakat adat diakui Pemohon terdapat benturan antara hukum adat dan hukum nasional Indonesia.

“Apabila dikaji melalui pendekatan perbandingan negara, urusan pemerintahan yang berkaitan dnegan masyarakat adat di beberapa negara telah terlembaga melalui kementerian khusus yang menangani permasalahan masyarakat hukum adat,” ujar Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum APHA lainnya.

Viktor melanjutkan, dengan adanya kementerian khusus ini dapat menampung aspirasi dan keluhan dari masyarakat adat yang memiliki keterbatasan dalam akses untuk bersuara secara langsung ke pemerintah pusat.

Adapun petimum dalam perkara ini, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pemohon juga meminta agar Pasal 5 Ayat (2) UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.

137