Home Gaya Hidup Karya Langka Affandi, Sudjojono, dan Maestro Lainnya di Lelang Global

Karya Langka Affandi, Sudjojono, dan Maestro Lainnya di Lelang Global

Jakarta, Gatra.com - Pada Bulan Juni ini, Auction Global mempersembahkan pilihan karya luar biasa lebih dari 147 Karya Seni Modern dan Kontemporer yang dikurasi dari para Maestro Asia Tenggara dan seniman ternama. Sorotan bulan ini menampilkan karya-karya luar biasa yang tidak hanya memukau secara visual tetapi juga sangat layak untuk dikoleksi.

Tidak banyak akses dan kesempatan untuk mendapatkan Karya-karya maestro Indonesia, khususnya seniman maestro ternama seperti Affandi, S Sudjojono, Srihadi Sudarsono. Koleksi maestro tentunya telah banyak dimiliki dan disimpan oleh para kolektor terdahulu yang memiliki koleksi-koleksi tersebut.

Selain itu, saat ini, ada banyak alasan mengapa para kolektor memilih membeli dari lelang dibanding galeri, termasuk akses terhadap karya yang paling banyak dicari; proses pembelian yang lebih mudah; transparansi mengenai permintaan dan harga, melalui aktivitas penawaran dan data pasar sekunder gratis; dan terkadang, potensi untuk mendapatkan karya berkualitas tinggi dengan harga yang relatif terjangkau.

Baca Juga: Menjelajahi Ketidakkekalan Kegembiraan Duniawi: Pameran 'Transitory Nature of Earthly Joy' oleh Albert Yonathan Setyawan

Direktur Global Auction, Kevin Oenardi Raharjo, mengatakan bahwa para kolektor, khususnya kolektor muda, untuk mau mengoleksi karya-karya masterpiece dari para maestro yang memiliki nilai seni tinggi. Ini merupakan kesempatan langka untuk menghadirkan karya-karya tersebut melalui lelang.

Berdiri sejak tahun 2003, Global Auction telah melayani para kolektor dan pencinta seni dari mancanegara dengan mengadakan lebih dari 200 lelang karya seni di Indonesia, Singapura, Malaysia, Hong Kong dan secara online. Pada bulan Juni ini, acara preview sebelum mengikuti lelang langsung online akan dilakukan pada tanggal 26 Juni pukul 19.00 WIB, yang akan ditutup secara langsung di http://bid.global.auction.

Affandi

Dianggap sebagai salah satu seniman ulung paling berprestasi di Asia Tenggara, Affandi telah mengadakan pameran tunggal di Indonesia dan berkeliling Eropa, mewakili Indonesia dalam pameran internasional di Brazil dan Venesia. Dia juga memenangkan hadiah pertama di San Paolo, dan mengadakan pameran tunggal di World House Gallery New York.

Selain pameran dalam dan luar negeri, Affandi juga pernah mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Singapura, dianugerahi gelar Grand Maestro dari San Marzano, Florence, Italia, dan masih banyak lagi penghargaan bergengsi. Pada koleksi bulan Juni ini, akan ditampilkan tiga karya dengan kurasi tema yang berbeda. Masing-masing memiliki ciri khas yang secara gamblang menampilkan gaya unik dan kedalaman emosi Affandi.

“Three Stray Dogs” merupakan salah satu karya istimewa Affandi. Inspirasi karya ini berasal dari pengamatannya terhadap Pak Jimin, sopirnya, sedang memberi makan sekawanan anjing liar di bawah pohon cendana di Bali. Sang maestro kerap mencari inspirasi lukisannya saat sering berkunjung ke Bali.

Anjing-anjing yang rakus melahap makanan dan berkelahi satu sama lain membuat Affandi penasaran. Dia tersentuh oleh adegan ini yang mencerminkan bagaimana orang sering bertindak serupa seperti anjing-anjing ini, berkelahi dan berkompetisi satu sama lain hingga merugikan mereka sendiri. Fenomena alam anjing liar ini selalu menjadi tema yang berulang dalam karya-karya Affandi.

Dieksekusi pada tahun 1965, karya ini berasal dari koleksi pribadi Alex Papadimitriou. Affandi menggambarkan tiga ekor anjing, yang satu berwarna hitam, satu lagi berwarna merah, dan yang ketiga berwarna putih. Kontras dramatis di seluruh kanvas memperkuat penggambaran anjing-anjing petarung.

Intensitas melukis yang spontan dan bervariasi dengan menggunakan tangan dan jemarinya menangkap gerakan, emosi, dan intensitas pemandangan. Simbol khas Affandi yaitu “Matahari, Kaki dan Tangan” tergambar di kiri atas karya tersebut, yang menunjukkan kepuasan pribadi sang Maestro terhadap karya tersebut.

Lukisan “Three Stray Dogs”  karya Affandi (Dok. Auction Global)

Karya-karya Affandi memberikan gambaran tentang minatnya, mulai dari lanskap, figur, fauna hingga kehidupan pesisir, yang semuanya merupakan subjek favoritnya. Tumbuh di wilayah pesisir, Affandi memiliki keterkaitan yang erat dengan pesisir dan mata pencaharian para nelayan.

Dalam karya bertajuk “Perahu Nelayan” tergambar keindahan perkampungan nelayan yang ramai, perahu nelayan tradisional dengan bentuk dan warna khas memenuhi pantai dari kiri ke kanan dengan warna merah, hijau, oranye, hitam, dan biru. Melihat ke pantai, Anda bisa melihat orang-orang melakukan berbagai aktivitas.

Di sebelah kiri terlihat beberapa orang berjualan ikan, pemandangan yang biasa terjadi di perkampungan nelayan. Terlebih lagi, karya ini masuk ke dalam buku “AFFANDI” yang ditulis oleh Raka Sumichan dan Umar Kayam pada tahun 1987.

S.Sudjojono

S. Sudjojono adalah seorang pelukis yang terkenal dalam merefleksikan warna, bentuk, dan proporsi dalam pengamatannya. Sejak masa perjuangan, ia menggambarkan situasi realistis atau kondisi aktual di Indonesia dengan gaya impresionisnya yang khas. Saat melukis suatu benda, Sudjojono selalu memahami karakter dan ciri sesaat dari benda yang dilukis.

Lahir pada tahun 1913 di Kisaran, Sudjojono secara luas dianggap sebagai "Bapak Seni Lukis Modern Indonesia". Pengaruhnya jauh melampaui kanvas. Dia bukan hanya seorang pelukis berbakat tetapi juga seorang pematung, ahli keramik, dan pembuat furniture.

Ia ikut mendirikan PERSAGI, Persatuan Ahli Menggambar Indonesia, sebuah organisasi penting yang membantu membentuk jalannya seni rupa modern Indonesia. Dedikasinya dalam membina bakat seni meluas hingga perannya sebagai mentor di POETERA, Departemen Kebudayaan.

Warisan Sudjojono meluas hingga ke luar Indonesia. Karya-karyanya telah dipamerkan secara internasional, termasuk di Rijksmuseum Amsterdam yang bergengsi. Beberapa lukisannya bahkan terjual lebih dari satu juta dolar di berbagai rumah lelang, sebuah bukti pengaruhnya yang abadi terhadap dunia seni.

Srihadi Soedarsono

Dengan pengalaman lebih dari lima dekade di dunia seni rupa, Srihadi Soedarsono dianggap sebagai salah satu pelukis modern maestro Indonesia. Lahir di Solo pada tanggal 4 Desember 1931, kecintaan Srihadi Soedarsono terhadap seni membawanya untuk melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung yang bergengsi pada tahun 1958.

Didorong oleh keinginan untuk memperluas keahliannya, Srihadi belajar seni rupa Amerika Serikat di Ohio State University dari tahun 1960 hingga 1962. Karya-karyanya menghiasi pameran di Indonesia, Amerika Serikat, Australia, bahkan Brazil. Pengakuan internasional ini semakin diperkuat dengan penghargaan budaya bergengsi.

Pada tahun 1971, ia menerima kehormatan penghargaan kebudayaan dari negara asalnya, Indonesia, disusul pada tahun 1973 dari Australia. Prestasi luar biasa diraihnya pada tahun 1978 dan pada tahun 1987, dengan meraih penghargaan tertinggi pada Pameran Dua Tahunan di Jakarta.

Pengakuan bergengsi ini mengukuhkan posisinya sebagai tokoh seni rupa Indonesia. Ia membagi ilmu dan semangatnya kepada generasi penerus, dengan menjabat sebagai dosen senior bidang seni lukis dan menggambar di dua institusi ternama: Institut Kesenian Jakarta dan Institut Teknologi Bandung.

Salah satu karyanya yang berharga berjudul “Bedoyo Ketawang-Energi Kecantikan Batin” yang menggambarkan keindahan unik tari Keraton Surakarta yang hanya ditampilkan pada acara-acara khusus di lingkungan keraton. Ketiga penari tersebut berdandan dari ujung kepala sampai ujung kaki, menyerupai pengantin putri dari istana.

Baca Juga: Art to Cart: JDF dan ATST Dorong Seniman Raih Peluang Ekonomi

Mereka mengenakan sanggul emas berhiaskan bunga melati putih yang menjuntai hingga ke pinggang, disertai kalung indah berwarna tembaga. Tarian ini memancarkan energi, keanggunan, dan kewibawaan, ditangkap dan digambarkan dengan terampil oleh Srihadi melalui sapuan kuas dan transisi warna.

Para penari mengenakan pakaian hitam dengan sedikit warna ungu dan coklat. Selendang berwarna merah yang diikat dengan ikat pinggang emas menambah kesan gerak dengan memasukkan guratan yang mengarahkan pandangan kita ke tangan penari.

Lee Man Fong

Lee Man Fong berhasil memadukan gaya Tiongkok dan Barat dalam karya seninya. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Indonesia, di mana ia menciptakan gaya artistik berbeda yang secara harmonis memadukan beragam pengaruh untuk membentuk perspektif artistiknya yang tenang namun kuat. Ia diberikan beasiswa Malino yang didukung oleh Raja Muda Belanda Hubertus van Mook sementara reputasi seninya terus meningkat.

Dia sering menggunakan teknik sapuan kuas Tiongkok sambil menerapkan konvensi visual Barat pada komposisinya. Seorang pelukis dan kurator terkemuka pernah menyebut bahwa pendekatan inovatifnya memperkenalkan gaya Nanyang ke Indonesia abad ke-20. Karya Lee Man Fong mencerminkan hubungannya yang mendalam dengan lingkungan alam, merayakan satwa liar dan pedesaan di Asia Tenggara.

Sebagai seniman, ia mendapat pengakuan luas dan terus memamerkan karyanya di kota-kota terkemuka seperti Paris, Amsterdam, dan Den Haag. Bakat dan dedikasi terhadap karyanya membuatnya mendapat peran penting dalam Yinhua Meishu Xiehui (Perkumpulan Seniman Tiongkok di Indonesia), yang dipimpinnya dari tahun 1955 hingga 1961.

Reputasi dan keterampilannya membawanya ke posisi terhormat sebagai seniman istana untuk Presiden Sukarno. Selama lima tahun, ia menciptakan karya seni yang menghiasi aula istana presiden.

Saat ini, karya-karyanya disimpan dalam koleksi publik utama. Karya-karyanya dikoleksi oleh kolektor-kolektor besar di Indonesia, Galeri Nasional Singapura, dan mancanegara. Hal ini memastikan bahwa kontribusinya terhadap dunia seni diakui dan diapresiasi di seluruh wilayah.

Dalam lukisan “Horses” Lee Man Fong menggambarkan dua ekor kuda dengan warna coklat yang berbeda-beda. Kuda yang paling depan sedang memakan rumput sedangkan yang di belakang berdiri dengan anggun. Selain itu, ia menyertakan pohon dengan batang bengkok di sebelah kanan.

Kuda dikagumi karena kekuatan, keindahan, dan keanggunannya. Terlebih lagi dalam tradisi Tiongkok, Kuda memiliki arti penting dalam sejarah karena digunakan dalam peperangan, yang kini diterjemahkan sebagai simbol kekuatan dan keberanian. Dalam karya Lee Man Fong, 12 zodiak Tiongkok sering digambarkan dan di antara 12 zodiak tersebut, Kuda adalah salah satu yang paling langka untuk dilukis.

Karya lukisan Lee Man Fong, Twelve Goldfish (Dok. Auction Global)

Dalam lukisan “Twelve Goldfish”, ikan mas tidak hanya sekedar hiasan. Dalam budaya Tiongkok, mereka memiliki simbolisme khusus, di antaranya membawa makna yang sangat menjanjikan. Angka dua belas sangat erat kaitannya dengan kepercayaan Tiongkok. Ini mewakili dua belas siklus hewan zodiak, masing-masing mempengaruhi satu tahun dalam siklus besar waktu.

Dua belas bulan menjadi satu tahun, dan dua belas jam menandai siang dan malam. Ikan mas sendiri dipandang sebagai makhluk yang beruntung, melambangkan kekayaan dan kemakmuran. Ikan, dengan gerakannya yang anggun dan siripnya yang mengalir, melambangkan kelimpahan dan vitalitas.

I Gusti Ayu Kadek Murniasih

Lebih dikenal dengan nama I GAK Murniasih atau “Murni”, ia merupakan pelukis Bali pertama yang karyanya dikoleksi oleh Tate Modern Gallery, London, Galeri Nasional Singapura dan Australia, Museum Nasional Kebudayaan Dunia, Leiden, Belanda, dan masih banyak lagi. Lahir di Tabanan, Bali pada tahun 1966, Murni menggunakan seni sebagai bentuk terapi, sebagai catatan sejarah pribadi, dan sebagai praktik sehari-hari.

Secara otodidak, untuk mengembangkan bakat seninya, Murni mengeksplorasi tema-tema karyanya baik dalam dua dimensi maupun tiga dimensi. Selama proses belajarnya, Murni belajar dengan pelukis tradisional Dewa Putu Mokoh, yang memungkinkannya mengasah keterampilannya di bidang kanvas.

Tema seksualitas dan perjuangan perempuan menonjol dalam karya Murni, dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. Trauma yang dialaminya sebagai korban kekerasan seksual memaksanya untuk mengungkapkan emosinya di atas kanvas.

Meskipun tidak semua orang bisa melampaui batasan-batasan yang dianggap tabu dan membicarakan tema-tema tersebut di depan umum, tema-tema utama Murni dalam karya-karyanya berkisar pada hal-hal tersebut, sangat berbeda dengan gaya atau genre seni Bali yang lazim pada masa produktifnya. Namun, seiring berjalannya waktu, para ahli mulai mengapresiasi karyanya.

Popularitas Murni telah menghasilkan beberapa pameran kelompok dan tunggal, dan karyanya telah ditampilkan dalam pameran seni internasional dan koleksi museum. Sejak tahun 2019, karya seninya telah dipamerkan di berbagai pameran seni di Indonesia, Singapura, Jepang, Filipina, dan Hong Kong, termasuk di ajang bergengsi seperti Art Basel Hong Kong dan Basel.

Pada tanggal 11-15 Oktober 2023, karya Murni dipresentasikan di Frieze Masters, dan ia berpameran di Biennale of Sydney pada tahun 2024. Pameran-pameran ini telah meningkatkan pengakuannya secara signifikan di kalangan pecinta seni di Indonesia, Hong Kong, Jepang, Filipina, dan mancanegara

Ahmad Sadali

Ahmad Sadali merupakan pionir perkembangan seni abstrak Indonesia. Lukisannya bukan sekedar karya seni belaka, melainkan hasil perjalanan hidup yang mendalam. Perjalanan ini melibatkan kesulitannya, serta ritual seperti doa dan puasa, yang mengilhami karya Sadali dengan esensi spiritual.

Meskipun tidak semua orang dapat memahami setiap pesan yang disampaikan oleh sebuah lukisan abstrak, karya-karya tersebut tidak dimaksudkan untuk ditafsirkan atau dipahami secara universal. Sebaliknya, mereka dimaksudkan untuk diapresiasi dengan beragam penafsiran masing-masing penggila seni.

Dikenal juga sebagai bapak seni abstrak Indonesia, Sadali lulus dari Jurusan Seni Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1953, kemudian menjadi guru besar di Jurusan Seni pada tahun 1972. Ia menerima hibah dari Rockefeller Foundation belajar di Iowa State University dan New York Art Students League di Amerika Serikat pada tahun 1956 hingga 1957.

Selain itu, ia melanjutkan studi lebih lanjut di Belanda dan Australia pada tahun 1977, dan di Pakistan pada tahun 1980. Ia mengadakan pameran tunggal di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, serta berpartisipasi dalam berbagai pameran kelompok di Indonesia, Tiongkok, Jepang, Thailand, Filipina, Singapura, India, Vietnam, Amerika Serikat, Swiss, Inggris, Prancis, Brasil, dan Arab Saudi.

Penghargaan yang pernah diraihnya antara lain Anugerah Seni Art Award dari pemerintah Indonesia pada tahun 1972 dan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada Biennial Seni Lukis Indonesia pada tahun 1974 dan 1978. Global Auction mempersembahkan dua karya Ahmad Sadali dalam penjualan ini.

Heri Dono

Lahir di Jakarta pada 12 Juni 1960, Heri Dono memulai perjalanan kreatifnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Hidup bagi Heri Dono berarti eksperimen terus-menerus untuk menemukan cara paling efektif dalam mengungkapkan ide-ide yang ada di benaknya. Heri Dono adalah seorang pelukis yang sangat kritis dan senang mengamati sekelilingnya dan memberikan kritik yang mendalam dari sudut pandangnya yang unik.

Heri Dono terkenal dengan instalasi modernnya yang mengambil inspirasi besar dari Wayang, sebuah bentuk wayang tradisional Indonesia. Ia mencoba memasukkan pertunjukan wayang dengan komponen-komponen yang rumit, meliputi visual, mantra, unsur pendengaran, narasi, komentar sosial, humor, dan narasi mitologis yang menyampaikan wawasan filosofis mendalam tentang kehidupan.

Pada awal tahun 1990-an, Heri Dono tampil sebagai seniman Indonesia pertama yang menorehkan prestasi di kancah seni rupa global. Prestasinya diakui oleh Artlink, sebuah majalah seni terkemuka Australia, yang menyorotinya sebagai seniman yang paling banyak diundang secara internasional dari tahun 1993 hingga 2006. Dia juga diakui sebagai salah satu dari 100 seniman Avant-Garde terkemuka di dunia, ia menonjol sebagai satu-satunya seniman kontemporer Indonesia.

Sepanjang karirnya, ia telah meraih beberapa penghargaan, antara lain Dutch Prince Claus Award for Culture and Development (1998), UNESCO Prize (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa (Visual Arts Award) dari pemerintah Indonesia pada tahun 2014. Heri juga berpartisipasi aktif dalam lebih dari 300 pameran dan 41 biennale internasional termasuk Asia Pacific Triennial (1993 & 2000), Gwangju Biennale (1995 & 2006), Sydney Biennale (1996), Shanghai Biennale (2000), dan berbagai edisi Venice Biennale (2003 & 2015).

Selain itu, ia pernah tampil di Sharjah Biennial (2005 & 2023), Guangzhou Triennale (2011), Kochi-Muziris Biennale (2018), Bangkok Art Biennale (2018), dan Gangwon Kids Triennale (2020) di Korea Selatan.

Lukisan berjudul “Tanah Dari Merapi” karya Heri Dono yang akan dilelang memiliki cerita khusus. Saat bertemu dengan Mbah Marijan, penjaga spiritual Gunung Merapi Yogyakarta, ia melakukan upacara Ruwatan Bumi untuk memperingati Hari Bumi. Ia meminjam sementara sebidang tanah dan memamerkannya di depan Keraton Yogyakarta. Tiga minggu kemudian, dia mengembalikan lahan tersebut ke lokasi semula di Gunung Merapi.

Kemudian, lukisan "Episode ke-25" merupakan karya Heri Dono yang diciptakan pada tahun 1985 saat ia masih menjadi mahasiswa di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Kartun tidak dianggap sebagai bagian dari seni rupa pada saat itu. Ia memadukan konsep animasi dan animisme, dengan keyakinan bahwa setiap objek memiliki semangatnya masing-masing. Ia memandang komik dan kartun sebagai entitas nyata, mirip dengan kepercayaan animisme.

Melalui lukisan ini sang seniman menyampaikan bahwa segala benda, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, adalah makhluk yang ada dan dapat digambarkan oleh seorang seniman. Judul "Episode 25" menandakan sebuah titik dalam kehidupan Heri Dono, di usianya yang ke-25, ketika ia menganggap makhluk-makhluk di dasar lautan terdalam atau di luar atmosfer bumi mempunyai bentuk yang beragam.

"Malaikat Tertangkap di Perangkap" adalah karya yang dibuat pada tahun 1996 dan pertama kali dipamerkan pada tahun yang sama di São Paulo Biennale di Brasil. Seniman Perancis Gustave Courbet pernah berkata, "Tunjukkan padaku seorang malaikat, aku akan melukisnya." Dalam sejarah seni Barat modern, malaikat biasanya dilihat dari sudut pandang agama.

Namun malaikat dalam karya ini tidak dikaitkan dengan persoalan agama tertentu karena Heri Dono melihat malaikat sebagai simbol inspirasi. Inspirasi ini terus bergerak maju, seperti imajinasi, fantasi, intuisi, dan persepsi manusia.

Karya ini menggambarkan bidadari yang terperangkap dalam jaring, melambangkan pelarangan dan sensor yang dilakukan lembaga negara terhadap hal-hal yang bertentangan dengan ideologi pemerintahan Orde Baru saat itu. Keadaan ini membuat para bidadari sebagai simbol inspirasi sulit melepaskan diri dari kekangan mereka.

Selain karya-karya tersebut, Lelang Global juga menawarkan karya-karya seniman ternama seperti Trubus Sudarsono, Arie Smit, Theo Meier, But Muchtar, Nasirun, Mochtar Apin, Dullah, Popo Iskandar, Djoko Pekik, Abdul Aziz, Ivan Sagita, Oesman Effendi , G. Sidharta, Amrus Natalsya, Fadjar Sidik, Widayat, dan masih banyak lagi. Untuk registrasi dan info lebih lanjut, kunjungi website Global Auction di: http://global.auction

54