Home Sumbagteng Cerita 1000 Sporadik di 'Tanah Haram'

Cerita 1000 Sporadik di 'Tanah Haram'

Pekanbaru, Gatra.com - Lelaki 54 tahun ini benar-benar tidak enak hati sepekan belakangan. Tudingan mafia tanah yang dialamatkan kepadanya, menjadi pangkal masalah.

Ayah tiga anak ini dituding seperti itu setelah fotocopy Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) yang dia terbitkan di lahan konsesi perusahaan, beredar ke mana-mana.

Kebetulan di Desa Simpang Kota Medan, Kecamatan Kelayang Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, lebih dari dua ribu hektar dari sekitar 3500 hektar konsesi perusahaan yang ada di desa itu, telah diduduki oleh masyarakat sejak beberapa tahun silam. Mayoritas lahan itu telah ditanami kelapa sawit.

"Nah, tahun 2020, ada surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan. Menengok surat itu, masyarakat berinisatif untuk mengajukan permohonan pelepasan. Digelarlah rapat di aula Kantor Camat Kelayang," cerita Baharudin kepada Gatra.com dua hari lalu.

Januari 2024, masa jabatan Bahar sebagai Kepala Desa Simpang Kota Medan berakhir setelah dilantik pertama kali pada 2018 silam.

Lantaran niat masyarakat baik kata Bahar, Camat Kelayang yang masa itu dijabat oleh Andrianto, memfasilitas pertemuan di aula itu. Bahar juga ikut.

"Pertemuan itu menghasilkan tim pengusulan pelepasan. Ketuanya Rudi Walker Purba. Tapi di pertemuan itu tidak dibicarakan soal biaya," kenang Bahar.

Dalam perjalanannya, rupanya salah satu syarat untuk permohonan pelepasan tadi adalah Sporadik. "Saya enggak langsung mengeluarkan surat itu. Saya diskusikan dulu dengan Camat, takut nanti akan bermasalah hukum di kemudian hari," ujarnya.

Baca juga: Bisnis Renyah di 'Tanah Haram'

Tiga pekan usai diskusi, Camat kemudian memberitahu Bahar kalau penerbitan Sporadik itu enggak akan jadi masalah.

"Itulah dasar saya mengeluarkan Sporadik itu. Sporadik itu bukan bukti kepemilikan. Hanya sebagai syarat pengusulan. Itulah makanya enggak bisa dipakai untuk mempertahankan lahan," terangnya.

Singkat cerita, orang kemudian berbondong-bondong mengurus Sporadik itu. Tim yang dibentuk oleh Camat tadi memberlakukan biaya pengukuran lahan Rp600 ribu per hektar.

Hasil penelusuran Gatra.com di lapangan, biaya yang dibebankan kepada masyarakat untuk pembuatan Sporadik itu bervariasi. Mulai dari Rp750 ribu hingga Rp2 juta per hektar. Mereka mengaku menyetor duit itu kepada Rudi. Ada yang melalui transfer, ada pula yang diserahkan tunai.

Bahar sendiri sudah mendengar besaran biaya yang dipungut itu. Dia memastikan bahwa pungutan itu bukan atas perintahnya. "Jadi saya enggak tahu menahu," tegasnya.

Pun begitu, Bahar masih sempat mengingatkan Rudi agar membikin laporan rinci berapa dana yang didapat dari masyarakat dan kemana saja peruntukan duit itu.

"Saya mengingatkan lantaran tim itu di-SK-kan camat. Jadi, uang yang dipungut dari masyarakat itu, musti ada laporan pertanggungjawabannya. Saya ingatkan begitu, yang bersangkutan mengatakan iya, tapi sampai sekarang laporan itu enggak ada," ujarnya.

Bahar sendiri tak menampik kalau dari hasil membikin sekitar 1000 persil Sporadik di areal konsesi perusahaan yang ada di Desa Simpang Kota Medan, dia kebagian duit juga dari Rudi. Tapi hanya sekadar 'uang rokok'. Cuma Rp75 ribu per surat.

"Saya nggak munafiklah. Saya ada terima, tapi segitulah adanya. Kalau suatu saat saya terpanggil-panggil karena Sporadik itu, saya akan sampaikan apa adanya," suara Bahar terdengar tenang.

Bila Sporadik yang dikeluarkan oleh Bahar mencapai 1000 persis, berarti ada 2000 hektar lahan yang tertera dalam semua surat itu. Kalau dipukul rata Rp1 juta saja per hektar, berarti ada Rp2 miliar duit yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengurus Sporadik tadi.

Tapi Rudi tegas-tegasan membantah soal biaya Sporadik itu. "Saya sama sekali tidak ada menerima uang untuk pengurusan Sporadik itu. Kalau ada yang mengaku telah menyetor uang kepada saya, tolong pertemukan, biar saya konfrontir. Saya nggak terima dituding begitu," katanya kepada Gatra.com kemarin pagi.

Saking tidak terimanya, lelaki ini menyebut akan segera menemui orang-orang yang mengaku-aku tadi untuk dikonfrontir.

"Biaya yang dipungut dari masyarakat hanya Rp600 ribu per hektar. Duit itu dipakai untuk biaya pengukuran lahan dan pengurusan permohonan pelepasan," ujarnya.

Bila jumlah Sporadik mencapai 1000 persil dikali dua hektar, berarti sudah 2000 hektar lahan yang menjalani pengukuran dan berarti pula ada sekitar Rp1,2 miliar duit yang terkumpul untuk biaya pengukuran dan pengurusan lahan itu.

Heri, salah seorang masyarakat yang mengurus Sporadik itu tetap bersikukuh kalau dia dan beberapa temannya telah membayar Rp2 juta per hektar untuk pembuatan Sporadik tadi.

"Kami tiga orang mengurus surat Sporadik itu. Saya kena Rp12 juta untuk tiga surat dan dua teman lainnya masing-masing Rp4 juta. Itu lantaran mereka masing-masing mengurus satu surat. Jadi totalnya Rp20 juta. Panjar surat kami transfer langsung ke rekening yang bersangkutan Rp5 juta. Sebulan kemudian kami serahkan sisanya di kawasan Paku. Tunai," terangnya.


Abdul Aziz

2851