Jakarta, Gatra.com - PT Asabri (Persero) berencana mengajukan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp3,61 triliun, untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025.
Direktur Utama Asabri, Wahyu Suparyono menjelaskan bahwa, dana PMN tersebut akan digunakan untuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 90% dan Corporate Bond sebesar 10%. Sehingga menghasilkan pendapatan baru dari investasi tersebut.
“Karena langkah strategis yang telah dan akan dilakukan tersebut di atas, diperkirakan belum memberikan sustainability jangka panjang, maka Perseroan berencana untuk mengajukan PMN sebesar Rp3,61 triliun untuk APBN tahun 2025,” kata Wahyu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (10/7).
Wahyu menjelaskan bahwa, usulan PMN diajukan sebagai salah satu upaya perseroan dalam menyelesaikan permasalahan ekuitas negatif, solvabilitas jangka panjang dan kekurangan jumlah aset investasi.
“Sehingga Asabri dapat memastikan kemampuan pemenuhan kewajiban manfaat kepada prajurit TNI, Polri, dan ASN dilingkungan Kemhan dan Polri,” jelasnya.
Menurutnya, dalam menghitung kebutuhan PMN, Perseroan menggunakan metode pemenuhan arus kas berbasis risko yang menjumlahkan kekurangan arus kas bebas dalam mencukupi kekurangan modal berbasis risiko atau Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM).
Wahyu menjelaskan kondisi perseroan saat ini bahwa, Asabri pada Tahun 2023 telah melakukan pembayaran program pensiun kepada lebih dari 484 ribu peserta dengan total pembayaran uang pensiun sebesar Rp17,2 triliun. Selain uang pensiun, pada Tahun 2023, Asabri juga melakukan pembayaran klaim program THT, JKK, dan JKm sebesar Rp1,7 triliun.
Selain itu, lanjut Wahyu, Asabri saat ini dihadapkan dengan beberapa masalah penting, antara lain, ekuotas yang negatif diakibatkan karena penurunan nilai wajar aset investasi, rasio klaim dan kenaikan beban cadangan. Diperkirakan tren penurunan ini akan berlanjut. Solvabilitas yang dimiliki belum menjamin going concern Perusahaan.
Kemudian, jumlah aset investasi yang dimiliki saat ini belum mampu memberikan hasil untuk menutup gap antara pembayaran klaim dengan penerimaan premi, karena besarnya aset investasi non-produktif. Hasil pengembangan yang diberikan kepada peserta menjadi tidak optimal.
Hingga, tingginya beban klaim dibandingkan dengan penerimaan Premi. Sehingga dibutuhkan sumber pendanaan/pendapatan lain untuk menutupi gap antara premi dan beban klaim. Sejak 2017 gap tersebut dipenuhi dari hasil investasi dan likuidasi aset investasi.