Home Hukum Pukat UGM Sebut Tren Pemberantasan Korupsi Terus Memburuk: KPK Jauh dari Harapan, Komitmen Prabowo Dipertanyakan

Pukat UGM Sebut Tren Pemberantasan Korupsi Terus Memburuk: KPK Jauh dari Harapan, Komitmen Prabowo Dipertanyakan

Sleman, Gatra.com - Kondisi pemberantasan korupsi saat ini begitu mengkhawatirkan. Selain kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lagi ideal, komitmen pemberantasan korupsi dari presiden terpilih Prabowo Subianto juga belum terlihat.

Hal ini mengemuka dalam diskusi publik “KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” gelaran Transparency International Indonesia bersama Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) di kampus UGM, Sleman, Rabu (10/7).

Sekretaris Pukat FH UGM, Hasrul Halili menyatakan KPK semestinya menjadi institusi cabang keempat di luar trias politika, yang berperan sebagai penegak hukum di bidang antikorupsi. "KPK dilahirkan untuk menjawab ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian dan kejaksaan," ujarnya.

Secara historis, ia menjelaskan, berdirinya KPK merupakan respons struktural terhadap korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. KPK dibangun dengan semangat mirip Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong yang dirancang sebagai agen tunggal dalam pemberantasan korupsi yang bebas dari pengaruh cabang kekuasaan manapun.

Namun, kata Hasrul, kondisi KPK saat ini jauh dari harapan. Kewenangan KPK justru dipangkas melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK. Regulasi baru KPK, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 menempatkan KPK berada di bawah rumpun eksekutif dan pegawainya berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). "Posisi KPK di rumpun eksekutif sesungguhnya merupakan pertanda hilangnya mahkota independensi," tandasnya.

Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, menambahkan kondisi KPK itu sejalan dengan hasil penilaian Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment 2023.

Menurutnya, hasil studi ini menemukan bahwa mayoritas dari 50 indikator yang terbagi dalam enam dimensi pengukuran mengalami penurunan signifikan apabila dibandingkan dengan kinerja KPK sebelum revisi UU. "Tingkat penurunan terbesar terjadi pada dimensi independensi," kata dia.

Wawan merinci, penurunan dimensi independensi sebesar 55 persen yakni dari 83 persen di tahun 2019 menjadi 28 persen di tahun 2023). Adapun dimensi penindakan turun 22 persen, yakni dari 83 persen ke 61 persen pada periode yang sama. Sementara dimensi kerja sama antar-lembaga turun 25 persen, dari 83 persen ke 58 persen. Ketiga dimensi lainnya yaitu sumber daya manusia dan anggaran, akuntabilitas dan integritas, serta pencegahan juga mengalami penurunan.

"Situasi ini mengakibatkan kinerja KPK pasca-revisi UU mengalami degradasi signifikan, baik dilihat dari rendahnya tingkat kepercayaan publik maupun legitimasi moral, dengan maraknya pelanggaran etik hingga status tersangka mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, serta kasus pungutan liar di rutan KPK yang melibatkan 90 lebih pegawai KPK," papar Wawan.

Melihat situasi tersebut, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Zainal Arifin Moctar, sangat pesimistis agenda pemberantasan korupsi ke depan dapat berjalan dengan baik.

Menurutnya, variabel penting seperti mengembalikan independensi KPK, memperbaiki undang-undang tindak pidana korupsi, hingga penguatan faktor lain yang berkaitan dengan komitmen pemberantasan korupsi sama sekali tidak muncul dari presiden terpilih, Prabowo Subianto.

"Momentum proses pemilihan pimpinan KPK yang saat ini sedang berjalan bisa saja menjadi kesempatan kecil yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong perbaikan KPK," katanya.

 

15