Jakarta, Gatra.com - Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipid Korupsi) Bareskrim Polri menetapkan dua orang penyedia barang dan jasa sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan gerobak dagang di Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tahun Anggaran 2018-2019. Kedua tersangka adalah Mashur dan Bambang Widianto.
"Ditetapkan sebagai tersangka dalam pengembangan perkara sebelumnya, di mana mereka berperan sebagai pihak yang bersama-sama melakukan pidana korupsi, yaitu dari pihak penyedia," kata Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Wadirtipikor) Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa saat dikonfirmasi, Ahad, (14/7).
Sejatinya penetapan tersangka ini sudah ditetapkan pada Juli 2023. Namun, polisi baru mengungkapnya. "Tapi sebenarnya sudah lama ditetapkan. Tahun lalu Juli 2023," ujar Arief.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menambahkan keduanya merupakan penyedia barang dari KSO Leader PT Piramjda Dimensi Milenia dan KSO PT Arjuna Putra Bangsa. Berkas perkara tersangka Mashur dan Bambang telah dilimpahkan untuk kedua kalinya ke Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Jumat, 12 Juli 2024.
"Mengirimkan kembali kedua berkas perkara kepada JPU Kejagung RI pada tanggal 12 Juli 2024 sesuai Surat Kabareskrim Polri untuk tersangka Bambang Widianto Nomor:B/304/VII/RES.3.1./2024/Bareskrim tanggal 11 Juli 2024 dan untuk tersangka Mashur nomor : B/305/VII/RES.3.1./2024/Bareskrim tanggal 11 Juli 2024," ujar Trunoyudo.
Trunoyudo tak membeberkan kapan berkas perkara kedua tersangka dilimpahkan ke Kejagung pada tahap I. Dia hanya menyebut berkas tahap I itu dikembalikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung untuk dilengkapi atau P-19 pada 29 Mei 2024
Sebelum melimpahkan kembali, penyidik disebut telah melakukan langkah pemenuhan petunjuk JPU atau P-19 terkait kelengkapan formil dan kelengkapan materiil berkas Mashur. Trunoyudo menyebut penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang diminta JPU. Namun, tak disebutkan sosok saksi dan hasil pemeriksaan karena materi penyidikan.
Sementara itu, terkait pemenuhan berkas Bambang, penyidik menyita dua bidang tanah berikut sertifikat yang diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi. Tanah itu seluas 18.658 m2 dan 18.115 m2. Selain itu, polisi juga menyita satu buah mobil Merk Ford, Type Ranger Double Cab 2,2L.
"Penyidik telah mengajukan izin penetapan dari Pengadilan Negeri Kubu Raya dan Pengadilan Negeri Pontianak," ungkap Trunoyudo.
Penyidik dipastikan akan terus berkoordinasi dengan Kejagung. Agar JPU segera menerbitkan P-21 atau berkas perkara lengkap. Sehingga, penyidik bisa melimpahkan tersangka Mashur dan Bambang serta barang bukti untuk disidang.
Sebelumnya, penyidik Dittipikor telah melimpahkan dua tersangka Putu Indra Wijaya dan Bunaya Priambudi ke Kejagung untuk disidang. Putu Indra Wijaya merupakan Kabag Keuangan Setditjen PDN Kemendag. Dia menjadi tersangka dalam pengadaan gerobak dagang Tahun Anggaran 2018.
Sedangkan, Bunaya Priambudi merupakan Kasubag Tata Usaha (TU) di Direktorat Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) pada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (DJPDN) Kemendag. Bunaya menjadi tersangka dalam pengadaan gerobak dagang Tahun Anggaran 2019.
Kedua tersangka dipersangkakan soal perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Perbuatan mereka menyebabkan kerugian keuangan negara serta penerimaan suap.
Mereka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 dan atau perbuatan menerima hadiah atau janji untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) atau pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Keterlibatan Mashur dan Bambang dengan Putu
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigjen Cahyono Wibowo menuturkan Putu menerima suap Rp800 juta dalam rangka mendapatkan pekerjaan pengadaan gerobak di Tahun 2018. Menurutnya, ada korespondensi antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan para pihak, yang ditunjuk sebagai pelaksanaan pekerjaan.
Dalam penunjukkan pelaksana pekerjaan proyek pengadaan gerobak dagang itu ada lelang. Sebelum lelang, Putu beberapa kali bertemu dan bermufakat dengan penyedia barang dan jasa, yakni Mashur dan Bambang Widianto untuk mengatur lelang menjadi milik keduanya.
"Putu meminta uang sebesar Rp800 juta kepada BW (Bambang) dan M (Mashur) dengan jaminan pekerjaan pembuatan gerobal dagang milik BW (Bambang) dan M (Mashur). Saudara BW (Bambang) menggunakan perusahaan PT PDM," ungkap Cahyono.
Kemudian, dalam proses lelang, Putu mempengaruhi dan bersepakat dengan tim kelompok kerja (Pokja) untuk memenangkan perusahaan milik Bambang Widianto dan Mashur. Yakni dengan cara menambahkan persyaratan memiliki pengalaman sejenis dan dalam penilaian, PPK ikut menilai. "Pokja menerima uang sebesar Rp600 juta)," ujar Cahyono.
Pada 17 Oktober 2018, dilakukan penandatangan kontrak antara PPK yakni Putu Indra Wijaya dengan perusahaan Bambang Widianto, PT Piramida Dimensi Milenia. Nilai kontrak akni Rp49 miliar dengan jumlah gerobak 7.200 unit. Kemendag memberikan waktu lama pengerjaan 75 hari kalender.
Setelah kontrak ditandatangani, perusahaan pendukung mengundurkan diri dengan alasan ketidakcocokan harga. Atas hal itu, PPK sepakat dengan Bambang Widianto selaku pemenang lelang mengalihkan pembuatan gerobak kepada pihak lain yang tidak ada dalam kontrak dan tanpa ikatan berupa perjanjian kerja sama (PKS).
"Sampai 31 Desember 2018 kontrak berakhir, gerobak dagang yang selesai dikerjakan hanya sampai 450 unit, dan sampai Desember 2019 gerobak dagang yang dikerjakan hanya 2.500 unit dari 7.200 sesuai kontrak. Sisanya, 4.700 unit tidak bisa dipertanggungjawabkan PPK dan perusahaan penyedia fiktif," jelas Cahyono.
Perbuatan rasuah itu menimbulkan kerugian keuangan negara Rp30 miliar berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Cahyono mengendus ada beberapa pihak lain yang juga menerima uang haram dari proyek tersebut. Penyidikan masih terus dilakukan.
Keterlibatan Masur dan Bambang dengan Bunaya Priambudi
Sementara itu, Bunaya Priambudi PPK yang menjabat sebagai Kasubag TU menerima suap Rp1,1 miliar untuk pengadaan gerobak Tahun Anggaran 2019. Menariknya, uang haram itu digunakan untuk menutupi penggantian ganti rugi terhadap suatu peristiwa pidana tersebut.
"Jadi ada Rp1,1 miliar yang diterima suap dan Rp1,1 tersebut digunakan untuk pembayaran ganti rugi terhadap pekerjaan yang lain," ungkap Cahyono.
Penerimaan suap itu berawal saat Bunaya beberapa kali bertemu dan bermufakat dengan penyedia jasa Bambang Widianto dan Mashur. Bunaya meminta uang Rp400 juta kepada Bambang dan Mashur yang digunakan untuk keperluan pribadinya.
Dalam proses lelang dengan metode pascakualifikasi satu file sistem gugur harga terendah, Bunaya mempengaruhi dan bersepakat dengan tim Pokja untuk memenangkan perusahaan Bambang dan Mashur dengan cara tidak mengecek perusahaan utama, melainkan hanya perusahaan pendukung. Padahal, perusahaan yang digunakan Bambang dan Mashur adalah perusahaan pinjam bendera.
Pada 30 Oktober 2019, dilakukan penandatanganan kontrak antara PPK Bunaya Priambudi dengan BS dari PT Dian Pratama Persada. Dengan nilai kontrak Rp29 miliar untuk pembuatan 3.570 unit gerobak dagang. Terdiri dari gerobak tipe 1 sebanyak 1.850 unit dan gerobak tipe 2 sebanyak 1.720 unit.
Kemendag memberikan tenggat waktu lama pengerjaan 60 hari kalender. Setelah kontrak ditandatangani, perusahaan utama dan perusahaan pendukung tidak mengerjakan produksi gerobak. Melainkan proyek itu dikerjakan PT Mutiara Putra Berkat, dengan jumlah gerobak yang sudah dibuat sebanyak 1.665 gerobak souvenir dan 119 gerobak bakso.
Gerobak dagang yang selesai dikerjakan dan diserahkan ke Kemendag sampai saat ini sebanyak 3.111 unit dari 3.570 unit sesuai kontrak. Sisanya, sebanyak 459 unit tidak bisa dipertanggungjawabkan PPK dan perusahaan penyedia fiktif.
"Atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka Bunaya Priambudi selaku PPK, negara telah mengalami kerugian sebesar Rp9 miliar berdasarkan perhitungan BPK," ujar Cahyono.