Home Politik Maqdir Ismail Sebut Sjamsul Nursalim Belum Pernah Terima Surat Panggilan dari KPK

Maqdir Ismail Sebut Sjamsul Nursalim Belum Pernah Terima Surat Panggilan dari KPK

Jakarta, Gatra.com - Maqdir Ismail selaku Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim mengaku kliennya belum terima surat panggilan pemeriksaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Belum (menerima panggilan), sepanjang yang kami tau belum ada," kata Maqdir Ismail saat ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).

Kemudian Maqdir juga mempersoalkan pemanggilan terhadap pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), apakah sudah dilakukan secara patut dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Ia juga mempertanyakan apakah pemanggilan KPK bekerja sama dengan Kedutaan Besar Singapura. Karena Sjamsul hingga saat ini masih menetap di negara tersebut.

"Siapa yang bisa membuktikan bahwa panggilan itu memang dilakukan secara patut. Sesuai ketentuan Undang-Undang," tuding Maqdir.

Sjamsul dan Itjih pernah dipanggil Lembaga Antirasuah KPK sebanyak tiga kali, yakni 8-9 Oktober 2019, 22 Oktober 2018, dan 28 Desember 2018. Sjamsul dan istrinya mangkir dari panggilan KPK saat masih berstatus saksi.

Kemudian pada 17 Mei 2019 lalu, saat penetapan tersangka, KPK juga  mengirimkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan untuk Sjamsul dan Istri. Surat pemberitahuan itu dikirimkan ke tiga lokasi di Singapura, The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire dan satu lokasi di Indonesia yakni di Rumah di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama.

Kasus ini merupakan pengambangan dari fakta persidangan untuk Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Ini sudah dibuktikan bahwa Sjamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI)  telah melakukan misrepresentasi.

Dimana, Sjamsul memasukan piutang petani tambak Rp4,8 Triliun, sedangkan utang para petani tambak tersebut ternyata piutang macet.

Financial Due Diligence (FDD) yang menemukan utang petambak tersebut dalam keadaan macet, kemudian BPPN kemudian menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 Triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK).  Karena itu hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).

Namun, pada April 2004, malah terjadi penandatangan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim. Pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai yang diatur di MSAA. Lalu diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.

Sehingga atas perbuatan itu KPK menilai Sjamsul Nursalim telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 Triliun.

Pasangan suami istri ini diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.

568