Home Milenial Cerita Mbah Darmo Dibombardir Capung Moncong Merah, 25 Wafat

Cerita Mbah Darmo Dibombardir Capung Moncong Merah, 25 Wafat

Sukoharjo, Gatra.com- Meskipun usianya hampir mendekati satu abad, namun tidak membuat seorang pejuang kemerdekaan Ngadiman Darmo Wiyoto (97) lupa akan peristiwa Indonesia dijajah Belanda. Pria asal Dukuh Jarak RT 03/RW 1, Desa Tanjung, Kecamatan Nguter tersebut pernah bergabung dengan Tentara Kedaulatan Rakyat (TKR).

Dengan nafas terengah-engah, Mbah Darmo sebutan akrabnya menceritakan kisahnya bahwa dia pernah berperang melawan Belanda di berbagai Kota di Jawa Tengah.  "Saya bergabung dengan TKR sejak 1945 awal, saya disana selama 3,5 tahun," katanya saat ditemui di rumahnya, Senin (17/8).

Mbah Darmo masuk dalam satuan yang berada di Tegal dan Purwakarta, Jawa Tengah. Kemudian, saat perang dia selalu berpindah-pindah untuk mengusir Belanda yang saat itu belum mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.

"Perang paling sengit di Ambarawa, saat itu saya dipimpin Jenderal Sudirman. Belanda kocar-kacir, karena kita kepung dari berbagai arah," ucapnya.

Selain itu, dia juga pernah mengikuti pertempuran di wilayah selatan Jawa, yang mengharuskannya terus bergerak dari Tegal hingga ke Yogyakarta.

"Saat itu kami diikuti pesawat milik Belanda, pesawatnya kepalanya merah, dan sayapnya seperti capung. Kita terus ditembaki dari atas, hingga satu batalion itu yang meninggal ada 25 orang. Alhamdulillah saya selamat," imbuhnya.

Dia menuturkan, saat itu dia berjalan dan bersembunyi di hutan. Bahkan untuk mengelabuhi para penjajah, Mbah Darmo dan teman seperjuangannya harus bergantung di bawah jembatan sehari semalam untuk bersembunyi dari pesawat Belanda.

"Camp di Tegal sudah dibakar, jadi kita harus bergerak terus hingga ke Yogyakarta. Itu kalau tidak kuat bersembunyi di bawah jembatan, bisa jatuh ke sungai, dan sungainya sangat dalam, teman saya ada yang meninggal karena tidak kuat," terangnya.

Sesampainya di camp Yogyakarta, Mbah Darmo kembali dilatih di asrama untuk persiapan pertempuran selanjutnya. Terkait detik-detik Proklamasi, pria yang memiliki hobi berkebun itu tidak mengetahui.  "Saat itu saya masih berperang, dan taunya setelahnya dari radio jika 17 Agustus kita merdeka," ujarnya.

Mendengar kabar itu, dia dan teman-temannya semakin terbakar semangatnya untuk meraih kemerdekaan.

1130