Home Gaya Hidup Kesulitan Berlipat, Kelompok Marjinal Bertahan Saat Pandemi

Kesulitan Berlipat, Kelompok Marjinal Bertahan Saat Pandemi

Bantul, Gatra.com - Kelompok marjinal menghadapi kesulitan berlipat di masa pandemi Covid-19. Namun, di tengah perundungan dan tekanan sosial, apalagi saat wabah menghantam sektor informal yang menghidupi mereka, kelompok marjinal tetap bertahan.

Hal itu menjadi benang merah diskusi daring 'Yang Beragam, yang Mengayakan: Menilik Resiliensi Kaum Waria di Masa Pandemi dan Sesudahnya' di Festival Inklusif 100% yang digelar Sanggar Inovasi Desa, Desa Panggungharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (22/9).

Relawan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta, Merlyn Sopjan, mengungkapkan, praktik-praktik perundungan dan tekanan sosial bisa dialami kelompok marjinal waria setiap hari. .

“Pandemi ini berat, tapi bukan hal terberat yang dialami kaum waria. Sejak dahulu waria mendapat banyak tekanan sosial. Di-bully, dikatain bencong, itu sudah kayak makan nasi, sehari bisa tiga kali,” tutur Merlyn.

Kusuma Ayu dari Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO)menambahkan banyak pekerjaan kelompok waria di sektor informal yang hilang, seperti membuka salon dan make-up artist.

Namun kelompok marjinal justru menunjukan daya tahan mereka. “Perlahan-lahan kami mulai menekuni usaha baru, seperti pembuatan kue. Kami belajar lewat pelatihan atau melalui grup Whatapps,” kata dia.

Pegiat kalangan waria, Shinta Ratri, menyatakan rasa kepedulian antar-kelompok marjinal terhadap lingkungan juga tidak hilang meski tengah menghadapi kesulitan.

“Jika ada warga di sekitar yang tak mendapatkan bantuan, maka kami pun membagikan kembali sembako itu supaya bisa dinikmati bersama,” ujarnya.

Pengajar Universitas Gadjah Mada, Ayu Diasti Rahmawati, menjelaskan, kelompok marjinal waria memiliki daya tahan atau resiliensi komunitas yang tinggi akibat kerap mengalami diskriminasi.

Ia pun mempertanyakan peran kaum mayoritas dalam memberi ruang bagi kelompok marjinal. “Bisakah kelompok mayoritas mulai memberi ruang untuk merajut lagi solidaritas? Para waria telah memperkuat diri supaya berani mengetuk pintu. Di waktu yang sama, bisakah mayoritas memberi kesempatan tersebut?” ucapnya.

Menurut dia, toleransi tidak sekadar mengakui kelompok marginal. “Namun, kaum mayoritas baik pemerintah, masyarakat, hingga institusi mayoritas menawarkan bantuan dan memberi hak berbicara pada kelompok minoritas,” ujarnya.

433