Home Hukum Polisi Harus Tindak Korporasi Penimbun Oksigen

Polisi Harus Tindak Korporasi Penimbun Oksigen

Jakarta, Gatra.com – Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir meminta aparat kepolisian menindak korporasi yang diduga menimbun oksigen, obat-obatan, alat kesehatan (alkes), hingga barang di tengah melonjaknya kebutuhan untuk sektor kesehatan, khususnya bagi pasien Covid-19.

Ari dalam keterangannya kepada wartawan pada Rabu (21/7), menyampaikan, aparat kepolisian jangan hanya menindak individu atau perorangan yang diduga melakukan penimbunan berbagai kebutuhan tersebut.

Doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu menegaskan, para penimbun itu semuanya harus ditindak tegas karena masyarakat sangat kesulitan untuk mendapatkan oksigen, obat-obatan, dan alkes serta dihantui terpapar Covid-19.

"Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit," ujarnya.

Karena itu, lanjut Ari, pemerintah telah menerbitkan beberapa undang-undang (UU) terkait masalah penimbunan, yakni UU No. 29 Tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting.

Sesuai Pasal 2 UU tersebut, penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri. Pelaku penimbunan diancam pidana penjara selama 5 tahun dan denda.

Selanjutnya, UU No 1 Tahun 1953, juncto UU No. 17/Drt/1951. UU ini juga mengatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana Pasal 2.

Menurutnya, kedua UU di atas merupakan respons atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat, seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Pasal 1 Perpres. No 71 Tahun 2015: Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.

Lebih tegas lagi Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.

Larangan tersebut, ujar Ari, dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan atau barang penting.

Menurut Ari, Alkes termasuk oksigen masuk dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut. Tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi.

Bukan hanya itu, penimbunan akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan. Oleh sebab itu, perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku.

Ari menjelaskan, dari berbagai UU dan peraturan di atas, pelaku penimbunan bisa perorangan dan korporasi atau badan hukum. Adapun sanskinya berupa pidana kurungan, denda maupun administrasi.

Korporasi atau badan usaha merupakan subjek hukum sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika melakukan perbuatan yang dikategorikan perbuatan pidana. Ketentuan ini telah diadopsidalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam UU Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955.

Ia melanjutkan, Pasal 15 UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi: Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.

Menggunakan ketentuan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum, baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana. Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”.

Sedang bila korporasi sebagai pelaku, ujar Ari, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.

Lantas, siapakah pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Ari menyampikan, dalam praktik bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham memengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham.

Menurutnya, para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali.

"Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas," ungkapnya.

Adapun doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 Tahun 2007, yakni corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus.

Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham.

Kemudian, mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabui kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.

Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alkes, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di Tanah Air.

Menurutnya, karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham, maka ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.

Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) UU No 40 Tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.

"Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara," ujarnya.

Sedangkan korporasi atau digunakan pemegang saham untuk melakukan tindak pidana, menurut Ari, korporasi tersebu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.

Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu, baik sementara maupun selamanya.

"Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain," kata Ari.

598