Home Kesehatan Vaksinasi Jangan Kendor, Genjot Hingga Kekebalan Komunitas Tercapai

Vaksinasi Jangan Kendor, Genjot Hingga Kekebalan Komunitas Tercapai

Jakarta, Gatra.com - Dua pekan terakhir, pemerintah berkali-kali merevisi kebijakan mengenai syarat yang harus dipenuhi khalayak luas untuk melakukan perjalanan selama pandemi COVID-19. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan menilai kebijakan ini kurang pas, sebab masih banyak anggota masyarakat belum divaksin.

Pada 18 Oktober 2021, Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 53/2021 tentang PPKM Level 3, 2, 1 COVID-19 di Wilayah Jawa-Bali mensyaratkan penerbangan Jawa-Bali harus disertai hasil tes PCR paling lama H-2. Tuntutan tersebut harus dipenuhi meski calon penumpang telah menerima vaksin. Hasil swab antigen hanya dapat digunakan untuk perjalanan darat.

Pada 27 Oktober 2021, aturan itu diubah lagi dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 55/2021 tentang Perubahan Inmendagri No. 53/2021. Kali ini, perubahan terkait keharusan penumpang pesawat dan transportasi darat untuk menunjukkan hasil tes PCR pada H-3 perjalanan.

Pada tanggal sama, Menteri Perhubungan merilis Surat Edaran No. 90/2021 yang mewajibkan penyertaan hasil tes PCR untuk perjalanan darat sejauh 250 kilometer atau minimal memakan waktu 4 jam. Aturan ini prematur karena ikut dicabut.

Menteri Perhubungan juga menerbitkan Surat Edaran No. 93/2021 yang mengubah aturan sebelumnya tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara Pada Masa Pandemi COVID-19. Beleid ini menegaskan lagi syarat vaksin pertama dan hasil tes PCR H-3 untuk penumpang pesawat dari, ke, dan di kawasan Jawa–Bali.

Baru empat hari berlalu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 1 November mengumumkan tes PCR tidak lagi menjadi syarat terbang pada lingkup Jawa–Bali. Kebijakan yang berlaku pada 3 November itu hanya mensyaratkan swab antigen seperti berlaku di luar Jawa–Bali.

Di tengah ketidakpastian kebijakan itu, capaian vaksinasi masih jauh dari target. Pada awal September Presiden Joko Widodo menargetkan 70 persen warga dapat divaksinasi hingga akhir 2021. Lalu, pada 2 November, target itu sedikit diturunkan: setidaknya 60 persen warga sudah bisa menerima vaksin dosis kedua pada Desember 2021.

Padahal, menurut data dari Kementerian Kesehatan per 6 November 2021, vaksinasi dosis I masih 59,88 persen (124,7 juta) dan dosis II baru 37,78 persen (78,68 juta) dari target populasi 208,26 juta jiwa. Untuk masyarakat rentan dan umum, cakupannya lebih rendah. Dari target sebanyak 141,2 juta, vaksin dosis pertama mencapai 50,42 persen (71,2 juta) dan dosis kedua 27,57 persen (38,9 juta).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan menilai bahwa pemerintah, berdasarkan data itu, lebih baik menggencarkan vaksinasi ketimbang plin-plan dalam hal kebijakan.

Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia—salah satu anggota koalisi—menyatakan, dengan bersandar pada data dari Kementerian Kesehatan, bahwa cakupan vaksinasi itu belum cukup untuk menciptakan kekebalan komunitas (herd immunity).

Untuk mencapai kekebalan komunitas, menurut para epidemiolog, setidaknya 70 persen populasi harus sudah divaksinasi. Jumlah ini setara 145,7 juta jiwa. “Menggencarkan vaksinasi lebih penting dari pada menerbitkan kebijakan yang berganti-ganti,” ujarnya.

Seruan itu muncul di tengah kondisi banyak warga yang masih sulit mendapatkan akses vaksin, seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, atau mereka yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan.

Argumen ini didukung Buyung Ridwan Tanjung, pendiri Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), yang berpendapat kelompok rentan seperti penyandang disabilitas tidak mudah mendapatkan vaksin.

Sebab, mereka kurang terpapar informasi yang benar dan susah mencapai lokasi vaksinasi. Jika dihadapkan dengan kebijakan yang berubah-ubah, mereka bisa makin kebingungan.

Untuk bisa mengajak penyandang disabilitas, butuh sosialisasi lebih intens dan lama, selain pula penyediaan layanan tambahan. “Untuk itu, penting bagi pemerintah lebih fokus menggencarkan vaksinasi sampai target 70 persen,” kata dia.

Koalisi telah membantu vaksinasi di 33 kabupaten yang tersebar di 10 provinsi. Provinsi tersebut meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat (Kapuas Hulu), Riau, dan Sumatera Selatan (Semanggus Lama).

Hingga saat ini, vaksinasi yang digelar Koalisi telah menjangkau lebih dari 100 ribu penerima manfaat yang berasal dari masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani dan nelayan, serta kelompok rentan lainnya.

Perluasan akses vaksinasi ini merupakan hasil kerja kolaborasi para anggota koalisi. Misalnya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bergerak menggelar vaksinasi di kalangan adat. OHANA dan HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) menggencarkan vaksinasi bagi penyandang disabilitas.

KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) membantu vaksinasi di kalangan petani dan nelayan. Filantropi Indonesia membantu vaksinasi di kalangan pemulung, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), dan kelompok rentan lainnya.

Menurut Hamid, pemerintah perlu mempermudah dan memfasilitasi penyediaan vaksin untuk kegiatan vaksinasi yang dilakukan Koalisi dan organisasi masyarakat sipil lainnya.

Selama ini, menurutnya, banyak inisiatif vaksinasi yang dilakukan Koalisi terhambat dan tidak bisa digelar karena vaksin tak tersedia. “Ini ironis. Kami diminta membantu pemerintah untuk percepatan vaksinasi, tapi pemerintah tidak menyediakan vaksinnya," kata Hamid.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan meminta pemerintah untuk menghentikan kebijakan yang cepat berubah-ubah terkait penanganan pandemi COVID-19 agar tidak membingungkan masyarakat dan memancing hoaks.

Selain itu, gerakan vaksinasi, terutama bagi mereka yang kesulitan akses vaksin seperti warga di pedalaman, masyarakat adat, dan kelompok rentan perlu lebih gendar. Khususnya dengan vaksin dari Johnson and Johnson yang hanya sekali suntik, sehingga memudahkan mereka.

Pemerintah juga perlu menggandeng kelompok masyarakat sipil untuk menggencarkan vaksinasi terutama bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan lainnya.

Selain itu, perlu ada prioritas vaksin bagi kegiatan vaksinasi yang dilakukan Koalisi dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Semua upaya ini diharapkan bisa menggenjot vaksinasi hingga mencapai target minimal untuk mencapai kekebalan komunitas.