Home Hukum Terjadi Obstruction of Justice, Kapolri Diminta Revisi Perpol Kode Etik Polisi

Terjadi Obstruction of Justice, Kapolri Diminta Revisi Perpol Kode Etik Polisi

Jakarta, Gatra.com - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diminta kembali merevisi Peraturan Polri (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) dan Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Revisi perpol dinilai perlu dilakukan buntut perintangan penyidikan atau obstruction of justice dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

"Perlu (direvisi), tapi apakah polisi mau dalam setahun ada revisi dua kali?" kata pengamat Kepolisian, Bambang Rukminto, saat dikonfirmasi, Jumat, (4/11).

Sebelumnya, Polri merevisi Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang KEPP dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri menjadi Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Revisi dilakukan karena tidak terdapat peninjauan kembali (PK) atas hasil sidang KKEP. Kala itu, PK diperlukan untuk menguji kembali hasil sidang etik Raden Brotoseno.

Baca jugaSebanyak 13 Saksi akan Dihadirkan dalam Sidang Obstruction of Justice Pembunuhan Brigadir J

Bambang menilai masih banyak kelemahan-kelemahan yang bisa memunculkan masalah dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022 itu. Padahal, kata dia, sebagai peraturan seharusnya detail dan jelas rambu-rambu untuk mengantisipasi pelanggaran maupun gugatan pada penerapannya. Terutama, anggota tidak bisa menolak perintah atasan yang bertentangan dengan aturan dan norma yang ada.

"Peluang abuse of power sangat besar karena ada conflict of interest antara perumus aturan dan pelaksana," ujar Bambang.

Dia menyesalkan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 yang diterbitkan Mei 2022 masih banyak kekurangan. Padahal, kata dia, itu merupakan hasil revisi dua perkap.

"Harusnya bisa mengantisipasi dan menutupi kelemahan-kelemahan perkapol sebelumnya dan Perkapol Nomor 7 Tahun 2022 itu bukan satu-satunya perkapol yang bermasalah," ucap Bambang.

Bambang memandang kelemahan itu terjadi salah satunya karena Polri membuat rumusan kebijakan berupa peraturan sekaligus pelaksana. Akibatnya, kata dia, yang seharusnya pelaksana harus taat dan menyesuaikan peraturan, malah sebaliknya peraturan disesuaikan dengan pelaksanaan.

Menurut Bambang, revisi Perpol Nomor 7 Tahun 2022 sangat penting dilakukan bila menginginkan reformasi kultural di tubuh kepolisian segera terjadi. Tanpa ada perubahan pada instrumental Peraturan Kapolri dinilai berat untuk berharap terjadi reformasi kultural di kepolisian.

Baca jugaSaksi Obstruction of Justice Beber Kronologi Penggantian CCTV di Duren Tiga

"Reformasi kultural tak akan terbentuk bila tak ada reformasi struktural dan instrumental lebih dulu. Kalau instrumennya salah, akibatnya mereka bersembunyi dengan alasan instrumen-instrumen sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP), mengikuti perintah atasan dan lain-lain," tutur Bambang.

Dia mendorong penuh Kapolri merevisi Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Bambang mengatakan salah satu pasal yang perlu direvisi soal waktu pelaksanaan sidang etik terkait pelanggaran berat, pidana.

"Apakah sebelum atau sesudah? ini penting untuk menjaga imparsialitas dan potensi abuse of power. Demikian juga dengan pasal terkait aturan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), untuk pelanggar pidana yang divonis lebih dari 3 tahun dan sudah inkrah," kata dia.

Kode etik profesi kepolisian dinilai norma moral tertinggi sebuah profesi. Oleh sebab itu, harus dipisahkan dengan pidana dan kedudukannya harus lebih tinggi daripada pidana umum.

413