Home Ekonomi Mata Uang Tunggal ASEAN, Bisakah?

Mata Uang Tunggal ASEAN, Bisakah?

Jakarta, Gatra.com - Presidensi Indonesia di G20 berakhir seiring dengan usainya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Banyak kisah sukses Indonesia sebagai penyelanggara KTT G20 menjadi buah bibir, salah satunya adalah disepakatinya leaders declaration atau deklarasi para pemimpin G20.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Indonesia kembali dipercaya untuk memegang tampuk pimpinan ASEAN tahun 2023. Posisi keketuaan sangat strategis di tengah ancaman resesi global 2023. Salah satu isu yang menarik dihidupkan kembali adalah ASEAN monetary unification.

Gagasan untuk menghidupkan kembali wacana ASEAN currency union sangat relevan mengingat negara-negara ASEAN sedang mengalami fluktuasi kurs dan menghadapi ancaman yang sama, potensi resesi 2023.

Selain itu, sejalan dengan konsep impossible trinity, salah satu pilihan kebijakan yang realistis bagi ASEAN adalah menjaga kestabilan nilai tukar dan kebebasan arus modal meskipun mengorbankan independensi kebijakan moneter masing-masing negara anggota.

Proses integrasi ekonomi dan keuangan ASEAN hingga penyatuan mata uang masih sangat sulit diwujudkan dan membutuhkan waktu lama. Pengalaman Uni Eropa yang memasuki fase akhir integrasi ekonominya dalam bentuk currency union setelah berproses selama lebih 60 tahun.

Pembentukan mata uang tunggal ASEAN memang sangat kompleks karena melibatkan 10 negara dengan tingkat perkembangan ekonomi yang timpang. Kondisi ini kontras dengan negara-negara EU yang dari segi perkembangan indikator ekonominya relatif sama, mulai dari inflasi, defisit fiskal, rasio utang, tingkat bunga, dan pengangguran.

 

Ke(tidak)miripan Tekanan

 

Syarat penting pembentukan mata uang tunggal di suatu kawasan adalah kemiripan tekanan yang dialami oleh masing-masing negara anggota. Hal ini berkaitan dengan efektifitas kebijakan respons bank sentral bersama ketika terjadi krisis yang disebabkan oleh tekanan eksternal.

Perbedaan tekanan yang dialami oleh negara anggota currency union menyebabkan kebijakan respons sulit diimplementasikan oleh bank sentral bersama. Demikian juga dengan bank sentral di masing-masing negara, tidak akan optimal dalam mengantisipasi tekanan spesifik mengingat kewenangannya yang semakin terbatas.

Namun, jika kemiripan tekanan sulit dicapai maka tidak otomatis menghilangkan peluang bagi penyatuan mata uang (Asdrubali et al., 1996). Alternatifnya adalah negara anggota currency union dapat mengembangkan mekanisme pembagian resiko dengan cara memperkuat integrasi pasar modal, pasar uang, dan transfer fiskal melalui institusi fiskal lintas negara.

Mekanisme ini didasarkan pada hipotesa permanent income hypothesis, yaitu suatu negara akan mempertahankan pola konsumsinya tidak berubah dari waktu ke waktu meskipun pendapatannya berfluktuasi.

Artinya suatu negara yang mengalami penurunan pendapatan akan berusaha mempertahankan konsumsinya, yaitu mencari alternatif pendapatan dengan cara bertransaksi di pasar modal negara lainnya yang sedang booming.

 

Peluang ASEAN

 

ASEAN memiliki prospek baik menuju ASEAN currency union dengan catatan dilakukan secara bertahap terhadap sub region yang terdiri dari tiga atau lima negara. Sebagai contoh, sub region ASEAN-3 yang terdiri dari Malaysia, Thailand, dan Singapura atau ASEAN-5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Pilipina.

Selanjutnya, secara bertahap negara ASEAN lainnya bergabung dalam currency union sesuai dengan tingkat konvergensi indikator makroekonominya. Demikian juga dengan derajat integrasi keuangannya, dalam hal ini integrasi pasar modal yang akan berperan dalam diversifikasi portofolio internasional serta pasar uang yang memfasilitas pinjaman internasional.

Berdasarkan kriteria kemiripan tekanan dan derajat pembagian resiko antar negara ASEAN, hanya tiga negara yang memenuhi syarat membentuk mata uang tunggal, yaitu Malaysia, Thailand, dan Singapura (Rauf, 2008).

Mata uang tunggal ASEAN dapat dimulai dari sub region yang kemudian secara bertahap keanggotaannya diperluas sehingga mencakup total 10 negara ASEAN. Tahapan serupa juga pernah dijalankan oleh EU dan hingga saat ini EU terus memperluas keanggotaannya.

 

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

1478