Jakarta, Gatra.com - Kuasa hukum Pendiri Ri-Yaz Group Malaysia, Mohammed Shaheen Shah Bin Mohd Sidek alias Dato’ Seri Mohd Shaheen, yang diwakili oleh Noverizky, Abdurrahim, dan Ricki Nasution dari kantor pengacara AM Oktarina Law Firm memberikan klarifikasi terkait tuduhan penggelapan dalam jabatan dan/atau penipuan yang diarahkan kepada kliennya.
Kuasa hukum menjelaskan bahwa kliennya telah dituduh dan dilaporkan oleh seorang pelapor bernama Andy ke Polda Bali atas dugaan penggelapan dan/atau penipuan. Objek yang dituduhkan oleh pelapor terkait dengan keuangan perusahaan PT Golden Dewata.
Pelapor mengklaim bahwa keuangan perusahaan tersebut telah dirugikan oleh kliennya sebesar Rp89 miliar. Namun, kuasa hukum menegaskan bahwa tuduhan yang dilaporkan oleh pelapor masih dalam tahap dugaan dan kliennya belum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Oleh karena itu, kuasa hukum meminta semua pihak untuk mengikuti asas praduga tak bersalah sampai klien kami terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
“Perlu diketahui sebelum lebih jauh, tuduhan dari Pelapor dalam Laporannya di Polda Bali terhadap klien kami masih dalam ranah yang sifatnya dugaan, artinya sekarang ini saja masih dalam tahap P-19. Artinya Kejaksaan Tinggi Bali saja masih menolak dan ingin penyidik yang menangani laporan untuk melengkapi bukti-buktinya apakah tuduhan terhadap klien kami tersebut benar-benar meyakinkan suatu pidana untuk dilanjutkan ke proses penuntutan dan bukan atau belum pada tahap berkekuatan hukum tetap oleh Pengadilan sebagai terpidana," ujar Noverizky sebagai salah satu tim pengacara Ri-Yaz Group Malaysia.
Selain itu, kuasa hukum juga menyanggah tuduhan bahwa kliennya tidak memiliki niat baik untuk menghadiri undangan pemeriksaan dan melarikan diri ke Malaysia. Kuasa hukum menjelaskan bahwa klien mereka tidak pernah menerima undangan klarifikasi maupun panggilan pemeriksaan sebagai saksi oleh penyidik Polda Bali setelah pelapor membuat laporan pada tanggal 20 Oktober 2022.
Undangan tersebut seharusnya dikirimkan ke alamat domisili kliennya di Malaysia. Namun faktanya undangan tersebut dikirim ke perusahaan pelapor yang berada di Dash Hotel Seminyak, Bali. Oleh karena itu, kuasa hukum meminta agar kepolisian melakukan prosedur yang sesuai dengan Pasal 227 KUHAP dan Perkap Nomor tahun 2019.
“Klien kami tidak pernah diberikan undangan klarifikasi maupun panggilan pemeriksaan sebagai saksi oleh Penyidik Polda Bali pasca laporan polisi dibuat oleh Pelapor pada tanggal 20 Oktober 2022," terangnya.
Justru, katanya, kemudian baru diketahui dari bukti yang dia peroleh, undangan tersebut ditujukan ke perusahaan Pelapor (PT Golden Dewata) yang berada di Dash Hotel Seminyak, Bali. Bukan ditujukan ke alamat domisili kliennya yang telah diketahui bersama-sama oleh pelapor dan penyidik, yakni berada di Malaysia.
"Padahal jika klien kami berada di luar negeri, prosedur yang harus ditempuh oleh Kepolisian seperti memberitahukan dan menyampaikan undangan resmi kepolisian melalui Perwakilan Negara Klien kami dalam hal ini Kedubes Malaysia yang berada di Jakarta berdasarkan Pasal 227 KUHAP dan Perkap Nomor tahun 2019,' imbuh Abdurahim salah satu tim pengacara Ri-Yaz Group.
Kuasa hukum juga menjelaskan bahwa mereka telah mengirimkan surat-menyurat kepada Polda Bali untuk memperjelas, mengkonfirmasi, dan klarifikasi bahwa klien mereka memiliki bukti-bukti yang dapat memperjelas kasus tersebut dan meminta untuk dilakukan gelar perkara khusus dan terbuka. Namun permohonan tersebut tidak pernah digubris oleh Polda Bali.
Kuasa hukum juga menyoroti fakta bahwa klien mereka sejak 27 November 2014 - 4 November 2020 adalah selaku pemegang saham mayoritas 99% di PT Golden Dewata melalui kepemilikan Ri-Yaz Asset dan sekaligus menjadi Direktur Utama di PT Golden Dewata pada periode tersebut. Oleh karena itu, mereka mempertanyakan bagaimana klien mereka bisa disalahkan dan dituduh melakukan penggelapan dan/atau penipuan terhadap keuangan perusahaan dimana berdasarkan peraturan perusahaan yang berlaku di Indonesia.
Kliennya, katanya, berhak secara penuh dan mutlak atas segala keuntungan/dividen di perusahaan Golden Dewata pada periode tersebut. Golden Dewata pada saat itu dimiliki oleh kliennya dan merupakan pemegang saham mayoritas 99%, sekaligus sebagai direktur utama.
"Tapi kemudian publik, ahli pidana, ahli perdata pada saat kami mintai pendapatnya, juga dibuat tidak percaya kenapa klien kami selaku pemilik perusahaan pada periode 2014-2020 justru disalahkan oleh pemilik perusahaan yang baru (pelapor) atas kerugian pada periode 2017-2021," imbuh Ricky Nasution.
Menurut kuasa hukum, saat mengalihkan perusahaan Golden Dewata kepada Wis Equity (Feric Setiawan) berdasarkan perjanjian pada 4 November 2020, disepakati dalam perjanjian tersebut oleh kedua pihak (Terlapor dengan Pelapor) bahwa Ri-Yaz Group tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi selain sebagaimana yang tercatat dalam Laporan Keuangan Golden Dewata terakhir pada tahun 2019.
Kuasa hukum juga mempertanyakan kenapa Pelapor/Korban setelah sudah mengecek aset-aset Golden Dewata berdasarkan Laporan Keuangan dari Audit Independen yang telah disodorkan dan juga telah disepakati kedua belah pihak. Mengapa Pendiri Ri-Yaz Group Malaysia, Datuk Seri Mohd Shaheen dan Chief Executive Officer (CEO) Ri-Yaz Development yakni Kieran Chris Healey dikriminalisasi.
Terlebih lagi, dalam perjanjian 4 November 2020 tersebut telah sepakat apabila ada sengketa yang timbul, akan diselesaikan oleh Pengadilan di Singapura. Itu mengartikan kasus ini jika ingin dipermasalahkan oleh Pelapor/Korban maka murni kasus perdata bukan kasus pidana di Kepolisian.