Home Nasional Gara-Gara Sidang Luhut vs Haris-Fatia, Masyarakat Daerah Jadi Takut Bersuara

Gara-Gara Sidang Luhut vs Haris-Fatia, Masyarakat Daerah Jadi Takut Bersuara

Jakarta, Gatra com - Pelaporan aktivis dan masyarakat pejuang hak asasi manusia (HAM) oleh pejabat publik dikhawatirkan akan semakin meredam suara-suara di daerah.

Koordinator KonTras Tahun 2020-2023, Fatia Maulidiyanti mengatakan, hal ini bukan hanya berbahaya untuk dirinya dan Founder Lokataru, Haris Azhar, tapi bisa melebar ke masyarakat di daerah yang berhadapan langsung dengan masalah di lapangan.

Saat ini, Fatia dan Haris Azhar tengah menjalani persidangan untuk kasus dugaan pencemaran nama baik setelah dilaporkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Maves) Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam perkara ini, Luhut memang melaporkan Haris dan Fatia sebagai individu, tanpa membawa jabatannya selaku pejabat publik.

Namun, berdasarkan fakta persidangan yang dialami Haris dan Fatia, aparat penegak hukum tetap memberikan perlakuan khusus kepada Luhut selaku pelapor. Misalnya, pada tanggal 8 Juni lalu. Saat itu, Luhut hadir di persidangan untuk diperiksa sebagai saksi pelapor. Sistem layanan publik di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ditutup dengan alasan keamanan. Hal ini menjadi pertanyaan lantaran Luhut sendiri sudah berulang kali mengatakan, pelaporan ini ia lakukan atas nama pribadi, tidak ada konflik kepentingan selaku pejabat publik.

"Dari (sidang) tanggal 8 Juni itu kita bisa belajar bahwa ternyata ketika pejabat publik melaporkan warga negaranya di dalam pasal-pasal yang cukup karet, seperti di UU ITE," ucap Fatia Maulidiyanti dalam diskusi "Penguatan Solidaritas Masyarakat Sipil Di Hadapan Penguasa", Jakarta, Rabu (02/8).

Fatia mengatakan, perlakuan spesial ini membuktikan kalau hukum di Indonesia tidak berpihak pada warga negaranya, terutama mereka yang berusaha menyampaikan ekspresi.

Ia pun khawatir, hal ini akan membuat masyarakat sipil di daerah menjadi tidak berani menyuarakan ketidakadilan yang dialami karena takut dikriminalisasi atau langsung ditangkap tanpa ada proses hukum yang jelas.

"Kebanyakan di daerah itu justru berhadapan langsung dengan ancaman-ancaman, segala bentuk kekerasan. Terus begitu juga, mereka tanahnya mau dirampas dan lain sebagainya," kata Fatia.

Mirisnya lagi, masyarakat sipil di daerah sulit dijangkau oleh bantuan hukum sehingga mereka lebih rentan terhadap upaya represif yang terjadi. Termasuk, yang sering terjadi di Papua atau beberapa daerah konflik seperti di Wadas, Jawa Tengah dan Sangihe, Sulawesi Utara.

"Ancamannya bukan hanya kriminalisasi, tapi pembunuhan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, bahkan penghilangan paksa yang sampai sekarang masih terjadi di Papua," kata Fatia lagi.

Semakin berkurangnya ruang untuk berbicara juga menambah kerugian masyarakat sipil terutama mereka yang tinggal di daerah yang dekat dengan proyek strategis nasional.

Fatia mengatakan, masyarakat di daerah ini mengalami kerugian berganda. Bukan hanya tanah yang dirampas, hak untuk hidup masyarakat pun ikut diambil di saat proyek-proyek nasional ini hanya menguntungkan beberapa pihak.

104