Jakarta, Gatra.com – Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, mengatakan, pihaknya mendesak Kodam I/Bukit Barisan harus memeriksa dan menghentikan “normalisasi intimidasi” penegakan hukum di Polrestabes Medan, Sumatera Utara (Sumut), agar tidak terulang.
“Dugaan pelanggaran disiplin prajurit harus diberi sanksi setimpal,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis pada Minggu (6/8).
Selain itu, Hendardi menyampaikan, pihaknya meminta Polri melakukan investigasi duduk perkara yang memicu normalisasi intimidasi penegakan hukum di wilayah Sumut tersebut.
“Profesionalitas dan integritas Polri harus menjadi lingkup pemeriksaan, sehingga dapat memberikan pembelajaran secara institusional,” ujarnya.
Ia menjelaskan, setelah intimidasi yang dianggap oleh TNI sebagai koordinasi penegakan hukum, yang berujung permintaan maaf KPK pada kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas RI, kali ini sejumlah anggota TNI dari Kodam I/ Bukit Barisan, Sumut, juga melakukan 'koordinasi' serupa di Polrestabes Medan pada Sabtu (5/8).
Menurutnya, koordinasi tersebut untuk meminta agar Polres Medan melakukan penangguhan penahanan terhadap warga sipil yang dibela anggota TNI. Selain koordinasi, Mayor Dedi Hasibuan, kata Hendardi, juga mengaku silaturahmi untuk membantu penegakan hukum meskipun kunjungan itu lebih menyerupai intervensi kinerja penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh Polrestabes Medan.
“Cara yang dilakukan oleh Hasibuan dan sikap permisif Kodam Bukit Barisan dan Polda Sumatera Utara, sebagaimana ditunjukkan oleh masing-masing juru bicaranya, akan mendorong 'normalisasi intimidasi' penegakan hukum di banyak sektor,” katanya.
Menurut Hendardi, pola penyelesaian semacam ini sudah berulang dalam beberapa kasus dengan konstruksi yang sama, seperti di Kupang (19/4/2023) dan Jeneponto (27/4/2023). “Semuanya berakhir dengan pernyataan bersama antara perwakilan institusi TNI dan Polri,” ujarnya.
Ia menduga bahwa sinergi dan soliditas artifisial inilah yang membuat kasus serupa berulang dan tidak pernah diselesaikan dalam kerangka relasi sipil-militer yang sehat dalam negara demokratis dan kepatuhan asas kesamaan di muka hukum dalam kerangka negara hukum.
Supremasi TNI dengan previlege peradilan militer adalah salah satu penyebab permanen 'normalisasi' intervensi penegakan hukum akan terus terjadi. Meskipun orang yang bermasalah dengan hukum bukan anggota TNI, tetapi menunjuk TNI sebagai penasihat hukum.
“Cara intervensi penegakan hukum di Polrestabes Medan bisa terjadi. Di sisi lain, peningkatan profesionalitas dan integritas para penegak hukum, juga menuntut perbaikan terus menerus,” katanya.
Hendardi menyampaikan, dalam jangka panjang, pekerjaan rumah membangun relasi sipil-militer yang sehat harus terus dilakukan, khususnya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI sebagai institusi pembentuk hukum.
“Untuk terus menerus melanjutkan reformasi sektor keamanan dan penegakan hukum dalam desain ketatanegaraan demokratis dan konstitusional,” katanya.