Jakarta, Gatra.com – Polusi udara di Jakarta telah memasuki fase mengkhawatirkan dalam beberapa pekan terakhir. Dalam beberapa hari terakhir saja, kualitas udara ibu kota tergolong tidak sehat. Hari ini, Ahad, (27/8/2023), indeks kualitas udara di Jakarta mencapai angka 170 AQI US atau tidak sehat pada sekitar pukul 13.00 siang menurut situs IQAir.
Beberapa lagkah srategis telah diupayakan. Salah satunya adalah upaya penyemprotan jalan protokol di sejumlah titik di Jakarta menggunakan water canon yang dilakukan oleh pihak Polda Metro Jaya (PMJ). Sayangya, upaya itu justru dicibir oleh banyak warganet karena dinilai tak berefek signifikan terhadap pengurangan polusi.
Di sisi lain, ahli kesehatan punya beragam pandangan dari banyak perspektif mengenai isu ini. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama, menyatakan bahwa sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang berbeda-beda.
Pertama, Tjandra merujuk pada sebuah penelitian di Cina berjudul “Large-Scale Spraying of Roads with Water Contributes to, Rather Than Prevents, Air Pollution” yang dimuat di jurnal ilmiah Toxics pada Juni 2021 silam.
Temuan itu menyebutkan bahwa penyemprotan air keran atau air sungai dalam jumlah besar ke jalanan justru malah meningkatkan konsentrasi PM2.5 dan tingkat kelembaban. Penyemprotan itu disebut menjadi sumber aerosol antropogenik dan polusi udara.
“Jadi tegasnya penelitian ini menyatakan bahwa menyemprotkan air dalam jumlah besar ke jalan cenderung meningkatkkan konsentrasi PM2,5 dan juga kelembaban,” ujar Tjandra dalam keterangan tertulisnya pada Ahad, (27/8/2023).
Meski begitu, penelitian lainnya menunjukan bahwa penyemprotan air ke jalanan bisa berefek berbeda. Tjandra merujuk pada sebuah jurnal di tahun 2014 yang dimuat di jurnal Environmental Chemistry Letters.
Temuan itu menyatakan bahwa penyemprotan air dengan metode perekayasaan kebumian (geoengineering) bisa mengurangi polusi PM2.5 di atmosfer secara efisien hingga ke level 35 ?g m?3 dalam waktu yang singkat, mulai dari hitungan beberapa menit, jam, hingga hari, bergantung pada karakteristik presitipasi atau proses jatuhnya air hujan di wilayah yang disemprot air itu.
“Tetapi memang metodologi penelitian tahun 2014 ini tidaklah selengkap penelitian di jurnal Toxic yang juga tahunnya lebih baru, 2021, sehingga secara ilmiah kita jelas membandingkan ke duanya,” tutur Tjandra.
Penelitian yang jauh lebih baru lagi untuk isu serupa muncul pada Maret 2022 lalu. Tjandra merujuk pada laporan penelitian yang dipublikasi di jurnal ilmiah Proc. ACM Interact. Mob. Wearable Ubiquitous Technol.
Penelitian ini disebut menawarkan perspektif yang lebih berbeda lagi. Si peneliti menggunakan metode iSpray atau intelligent spraying yang merupakan suatu desain perangkat lunak (software) baru tentang teknik penyemprotan air yang lebih baik.
Temuan penelitian itu menyebutkan bahwa iSpray dapat mengurangi total waktu penyemprotan hingga 32%. Angka itu setara dengan 1,782 ????3 air dan 18,262 KWh dalam proses penyebaran air tim peneliti. Alhasil, upaya tersebut mampu mengurangi jumlah hari dengan kualitas udara buruk di titik-titik kunci suatu wilayah yang tercemar polusi hingga 16%. “Artinya, iSpray dengan intelegensia memberi cara penyemprotan yang lebih efisien dan memberi dampak baik pula pada penanganan polusi udara,” ujar Tjandra.
Tjandra kemudian juga merujuk pada India yang pernah mencoba menyemprotkan air dalam upaya mengurangi polusi udara kota New Delhi. Sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang optimal. “Disebutkan bahwa mungkin penyemprotan air akan ada gunanya hanya pada daerah yang sedang banyak membangun gedung dan menimbulkan debu,” ujarnya.
Di sisi lain, Tjandra bercerita bahwa di taman kota New Delhi, seperti Nehru Park, yang berlokasi tidak begitu jauh dari kantor KBRI Indonesia di India, pernah pula dicoba upaya penyemprotan semacam uap/kabut air melalui cerobong besar. “Jadi air dari tangki lalu disalurkan ke mesin dan disemprotkan sudah dalam bentuk uap/kabut air, walau ini tentu juga belum ada kajian ilmiah yang tegas pula,” katanya.
“Dengan beberapa penjelasan di atas maka memang harus betul-betul dianalisa secara ilmiah cara apa yang akan kita gunakan untuk mengatasi polusi udara yang masih terus buruk pada hari-hari ini,” ujar Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu.