Padang, Gatra.com – Harta karun budaya dan peninggalan yang tersimpan di Museum Adityawarman di Kota Padang, Sumatera Barat memiliki nilai sejarah, kebudayaan, dan peradaban yang tinggi. Karena itu, museum memiliki fungsi vital untuk menyimpan sekaligus melindungi benda bersejarah yang tersimpan dan terkoleksi di dalamnya.
Sayangnya, keberadaan museum di daerah rawan bencana menimbulkan tantangan tersendiri. Museum Adityawarman misalnya, terletak di jantung ibu kota Sumatera Barat. Padang dikenal sebagai salah satu kota rawan bencana yang letaknya berada di pesisir Sumatra. Bencana alam hebat pernah terjadi di kota ini pada 2009 yang merenggut banyak korban. Tak hanya itu, bencana meluluhlantakkan sejumlah bangunan strategis di Kota Bingkuang.
Dilihat dari peta kerawanan bencana, Kota Padang berada pada zona dengan status bahaya tinggi, area masuk dalam sektor VI Peta Evakuasi Tsunami. Jarak dari bibir pantai 349 meter dengan ketinggian 7 mdpl, memiliki sejarah terdampak gempa dan tsunami pada tahun 1602 - 1642, 1797, 1833, 1885 Masehi.
Baru-baru ini, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat bekerja sama dengan Tim Peneliti Museum Adityawarman mengeluarkan dokumen kajian terhadap Rekomendasi Mitigasi Bencana terhadap Museum Adityawarman. Dokumen tersebut disampaikan secara langsung kepada Gubernur Sumatra Barat, Mahyeldi.
Dalam dokumen kajian telaah bencana itu disampaikan bahwa Museum Adityawarman memiliki kerentanan dalam hal kebencanaan, baik dari faktor alam maupun manusia. Kerentanan kebencanaan dilatarbelakangi oleh faktor alam dapat mengakibatkan hilangnya aset budaya daerah yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta nilai penting budaya yang tidak ternilai harganya.
Selanjutnya, kerentanan terhadap bencana yang dilatarbelakangi oleh faktor sosial (Sumber Daya Manusia) yang dapat mengakibatkan kerusakan pada aset budaya daerah yang akan menimbulkan tingginya biaya pemeliharaan dan perlindungan di masa mendatang. Tim peneliti menyampaikan, Museum Adityawarman saat ini menyimpan 6.316 koleksi, 13 bangunan, dengan jumlah kunjungan 8.005 orang/tahun.
Dalam laporan disampaikan bahwa bencana gempa 2009 telah merusak 300 koleksi (keramik) dengan kerugian daerah senilai Rp800.000.000. Para peneliti menyampaikan sejumlah analisis terhadap potensi kerugian daerah bila terjadi bencana dengan asumsi integral harga dasar koleksi dari 6.316 koleksi adalah Rp126.323.158.000 belum termasuk nilai budaya terkandung pada masing masing.
Keseluruhan total aset yang terdapat di Museum Adityawarman adalah Rp188.889.770.000 yang mencakup nilai tanah, bangunan, dan sarana pelengkap. Arkeolog nasional sekaligus staf budaya di Museum Adityawarman, Alfa Noranda menyampaikan bahwa Museum Adityawarman berada dalam kondisi rentan terhadap bencana, baik bencana dari faktor alam maupun faktor sosial (sumber daya manusia).
Alfa menerangkan, kemunculan Museum Adityawarman di Sumatra Barat pada 1977 bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan terpeliharanya perkembangan kebudayaan nasional, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan terbinanya identitas serta karya budaya bangsa Indonesia.
“Adanya resiko kebencanaan pada Museum Adityawarman, secara langsung mengancam tujuan tersebut, upaya mitigasi resiko dampak bencana perlu dilakukan agar tidak muncul penyesalan dikemudian hari oleh stakeholder yang ada di Sumatra Barat. Kondisi yang rawan, telah diketahui sejak terjadinya bencana pada 2009,” ujar Alfa Noranda ketika dihubungi Gatra.com.
Ia menyebut, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat telah menyusun tiga rekomendasi. Pertama, pentingnya dilakukan peninjauan kembali nomenklatur Museum Adityawarman sebagai UPTD yang ada pada Dinas Kebudayaan. Kedua, kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) diikuti dengan tingkat beban kerja pengelolaan koleksi yang jumlahnya terhitung banyak dengan asumsi nilai ekonomi dasar yang tinggi belum termasuk nilai penting budaya, perlu dilakukan rekrutmen kepegawaian untuk penjagaannya.
Ketiga, disebabkan lokasi museum berada pada Zona Merah dengan status tinggi risiko bencana, khususnya tsunami/ ombak besar, maka perlu dilakukan relokasi atau pemindahan lokasi Museum Adityawarman ke lokasi aman atau Zona Hijau Bencana.
“Bencana tidak akan ada yang dapat menduga dan memprediksikannya, namun kondisi yang mengarah kepada hilangnya bukti sejarah dan kebudayaan masyarakat Sumatra Barat dalam hal ini home land masyarakat Minangkabau yang dikumpulkan baik dari pemberian maupun pembelian menggunakan anggaran negara maupun daerah sejak museum tersebut berdiri akan menjadi sia-sia bila tidak ditindaklanjuti sesegera mungkin,” pungkasnya.