Home Nasional APHA Sinyalir Mangkraknya RUU Hukum Adat karena Kekuatan Tertentu

APHA Sinyalir Mangkraknya RUU Hukum Adat karena Kekuatan Tertentu

Jakarta, Gatra.com – Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Laksanto Utomo, mensinyalir mangkraknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Adat di DPR hingga sekitar 17 tahun karena ada kekuatan tertentu yang akan terganggu kalau RUU tersebut disahkan.

“Ini karena ada kekuatan yang sangat kuat sehingga RUU ini tak kunjung disahkan,” kata Laksanto dalam webinar bertajuk “Perebutan Penguasaan SDA: Pendanaan Pilpres dan Kerusakan Lingkungan” yang dihelat secara hybrid di Jakarta, Senin petang (5/9).

Lebih lanjut Laksanto dalam diskusi publik gelaran Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) ini, menyampaikan, hanya ada satu fraksi dari partai di DPR yang bersedia untuk bersama-sama APHA berjuang agar RUU Masyarakat Adat ini segera disahkan.

Belum disahkanya RUU Masyarakat Adat ini, lanjut Laksanto, mengakibatkan banyak masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia dikriminalisasi dengan berbagai kasus dan modus yang dituduhkan.

Laksanto mengungkapkan, salah satunya adalah dituduh mencuri kayu atau menguasi tanah yang sebenarnya merupakan tanah atau hutan ulayat mereka sendiri. “Masalah konflik tanah ulayat banyak sekali,” ujarnya.

Adapun beberapa kasus yang dituduhkan kepada sejumlah masyarakat hukum adat, di antaranya di Sumatera Barat (Sumbar). Masyarakat adat dituding mencuri kayu bakar. Padahal, mereka mengambil kayu bakar itu dari tanah ulayatnya.

“Beberapa kasus yang diputus oleh pengadilan negeri bahwa para masyarakat adat yang ambil kayu bakar, tapi dikriminalisasi sehingga dihukum,” ujarnya.

Mereka meminta bantuan APHA dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mendapat pendampingan hukum. “Tapi seperti biasa, karena kekuasaan dan kewenangan, mereka tetap dihukum,” ujarnya.

Selanjutnya, masyarkat adat di Marafenfen, Maluku, yang tanah adat atau ulayatnya diambil oleh salah satu matra TNI tanpa ganti rugi. Mereka diusir dari tanah adatnya yang sudah dihuni sebelum Indonesia ada.

“Kemudian masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tergusur dari hutan adatnya,” ujar Laksanto.

Kasus lainnya, yakni pembalakan liar terhadap tanah ulayat masyarakat adat di Desa Aek Godang Arbaan, Kecamatan Onang Ganjang, Humbang Hasudutan, Sumatera Utara (Sumut). Ada juga kasus terhadap Suku Togutil di Maluku Utara (Malut).

Menurutnya, ini hanya sekelumit yang menimpa masyarakat adat di Indonesia, karena masih banyak lagi kasus-kasus yang menimpa masyarakat hukum adat lainnya yang mempertahankan dan menjaga tanah ulayat warisan dari leluhurnya.

“Ini sangat menyedihkan di Bumi Nusantara ini. Ini karena pemerintah dan DPR belum juga mengesahkan RUU Masyarakat Adat,” ucapnya.

Belum disahkanya RUU Masyarakat Adat ini sangat ironis. Pasalnya, selain mengakibatkan banyak masyarakat adat yang dikriminalisasi, juga belum hadirnya negara untuk melindungi mereka.

Padahal UUD 1945 tegas mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat di seluruh Indonesia sebagimana tercantum dalam Pasal 18 B, yakni mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Masyarakat hukum adat ini perlu pengakuan. Ya adanya di RUU Masyarakat Adat itu,” ujarnya.

Alih-alih mengesahkan RUU Masyarakat Adat, lanjut Laksanto, pemerintah malah memberikan karpet merah kepada investor untuk mengambil tanah ulayat masyarakat adat.

“Dengan begitu banyaknya investor, kemudian memberikan karpet merah. Apalagi dengan UU Cipta Kerja, Masyarakat hukum adat ini akan disingkirkan,” katanya.

Padahal, lanjut Laksanto, keberadaan masyarakat adat ini sangat penting bagi negara dan alam. Mereka menjaga kelestarian alam agar terus bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.

“Pemerintah tidak bisa menjaga hutan, termasuk hutan lindung. Ini salah satu tugas yang di-share ke masyarakat adat,” ujarnya.

Presidium KAMI dan mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, menyampaikan, telah terjadi penghianatan pemerintah terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebab, lanjut Gatot, sebelum tahun 1945, Indonesia itu belum ada. Saat itu adanya sejumlah kerajaan, kesultanan, dan masyarakat adat. “Pasal 18 B Ayat (2) inilah yang mengikat sehingga mereka mau bergabung dengan Indonesia,” ujarnya.

204