Pelaihari, Gatra.com - Bangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) H Boejasin Pelaihari berbiaya Rp300 miliar, ternyata di didirikan di atas lahan yang belum dibayar ke pemiliknya. Lahan rumah sakit mewah itu milik PT Perembee, dan sampai saat ini PT Perembee belum menerima ganti rugi lahan.
Direktur PT Perembee, Mawardi mengungkapkan, mengacu pada Peraturan Pemerintah Tentang pelepasan Hak ada empat, yakni jual beli, waris, hibah dan putusan pengadilan. "PT Perembee tidak pernah menerima ganti rugi dari lahan tersebut. PT Perembee tidak pernah mewariskan lahannya ke Pemkab Tanah Laut, dan tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan lahan tersebut milik Pemkab Tanah Laut, dan Hibah bersyarat juga tidak di akui oleh pihak Pemkab Tanah Laut," beber Mawardi kepada Gatra.com, Senin (11/12).
Hal ini, kata Mawardi, membingungkan pihaknya selaku pemilik lahan dan menjadi konflik sosial di masyarakat akibat pernyataan Bupati Sukamta (kala itu) yang menyatakan tidak ada hibah dan pernyataan Sekda Tanah Laut, Dahnial Kifli yang mengatakan lahan Sertipikat Hak Guna Usaha tidak boleh diperjual belikan tidak boleh dihibahkan.
"Pernyataan tersebut tidak mendasar dan tanpa pendapat hukum yang jelas berdampak hak kompensasi hibah, kami tidak diberikan (terjadi penyegelan), serta tidak dijalankannya syarat - syarat hibah," terang Mawardi.
Dikatakannya, jika tidak ada hibah, bagaimana RSUD H Boejasin bisa berdiri di lahan milik PT Perembee, sementara tidak ada pembebasan. "Kemudian diketahui asisten I Pemkab Tanah Laut dan Notaris membuat Akta Pelepasan Hak tampa sepengetahuan kami dan diduga memalsukan isi Akta dan Akta tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar Permohonan Sertpikat lahan RSUD H Boejasin," terang Mawardi.
Diduga, dengan adanya Akta Pelepasan Hak yang dipalsukan, lanjut Mawardi, isi akta tidak sesuai fakta, dan Akta Pelepasan Hak tersebut lahir sebelum adanya Perjanjian Kerjasama Hibah. "Maka Bupati dan Setda beranggapan tidak ada Hibah," cetusnya.
Mawardi menyayangkan, kenapa bagian hukum Pemkab Tanah Laut membiarkan dan tidak memberikan pandangan hukum, padahal sebarusnya, bagian hukum sangat mengetahui dan memahami tentang peralihan hak dan bisa memberikan pandangan hukum. "Jika hibah tidak di akui, sementara pembebasan tidak ada, dan putusan pengadilan juga tidak ada, waris juga sangat tidak mungkin. Jadi atas dasar apa sehingga ada lahan RSUD H Boejasin..?," tanya Mawardi.
Dia menyebut, pemerintah tidak mungkin mengambil hak masyarakat dengan sewenang - wenang karena pada dasarnya pemerintah adalah pelayan publik. "Jika Bupati Sukamta dan Sekda Daniel Kifli menyampaikan lahan SHGU tidak boleh dijual belikan atau dihibahkan, kami menduga pak Bupati dan pak Sekda sudah menyampaikan berita yang menyesatkan di masyarakat," ujarnya.
Dapat dibuktikan SGHU PTPN 13 Ambungan Kabupaten Tanah Laut, dimana SHGU tersebut milik PTPN (Perseroan Terbatas Milik Negara) dan Pemkab TALA ingin membuat jalan pada lahan SHGU PTPN tersebut. "Menjadi pertanyaan kami, apakah bisa dengan mudahnya Pemkab Tanah Laut mengambil dan melepaskan Hak penguasaan lahan SHGU PTPN tersebut?" cetusnya.
Saat ini, beber Mawardi, sebagaimana berita yang beredar di masyarakat pihak Pemkab Tanah Laut dan PTPN sedang negosiasi terkait lahan SHGU milik PTPN 13 Ambungan. Ini membuktikan bahwa apa yang disampaikan oleh Bupati Sukamta dan Sekda Dahnial Kifli adalah berita yang tidak benar dan menyesatkan. "Bahwa SHGU tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diperjual belikan," tegasnya.
Mawardi berujar, akibat penyampaian dari Bupati dan Seketaris Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut menyebabkan terjadinya konflik sosial di masyarakat dan hilangnya kepercayaan masyarakat, perbankan dan investor.
"Kami bukannya dibantu dan didukung permohonan perizinan kami, namun yang ada malah disegel, dan kesepakatan akses jalan sebagaimana masterplan tidak dijalankan. Yang ada malah melakukan pemborosan anggaran dengan membebaskan dan membuat jalan baru, sehingga proyek tidak berjalan sebagaimana rencana awal," katanya.
Selain itu, kata Mawardi, kerugian juga bagi masyarakat karena hilangnya lapangan kerja, hilangnya pendapatan daerah dari pajak daerah dan hilangnya pendapatan Negara dari pendapatan pajak PPN.
Mawardi menjelaskan, sebenarnya permasalahan sudah di akui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut melalui Bupati Sukamta yang disaksikan Kabag Hukum, Alfirial, SH, MH., Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Hairul Rizal, S.Sos, M.Si, Kepala Dinas Bappeda, Andris Evony, S.STP, dan Kepala Dinas PM dan PTSP, Drs. Joko Wuryanto, M.Si.
Sebagaimana kesepakatan bersama pra perdamaian poin satu yang PT Perembee kutif menyatakan bahwa pihak ketiga (Bupati) menyadari akan kesalahan dan kealpaannya dalam menafsirkan perjanjian kerjasama tanggal 4 Maret 2015, serta tindakan error prosuder yang dilakukan oleh jajaran dibawahnya sehingga berakibat kerugian kepada Pihak pertama (PT Perembee) dan Pihak kedua (PT Pelaihari Cipta Laksana), dan pihak ketiga juga mengakui ketidaksesuain informasi kepada publik yang disampaikannya dengan fakta yang sebenarnya.
"Namun faktanya Pihak Pemkab tetap tidak menjalankan sepenuhnya apa yang sudah diakuinya pada kesepakatan bersama pra perdamaian itu," kata Mawardi.
Gatra.com telah mencoba melakukan konfirmasi melalui pesan WhatsApp kepada Sekda Tanah Laut Dahnial Kifli dan Kabag Hukum Pemkab Tanah Laut Alfirial. Namun sampai berita ini diterbitkan, belum memberikan tanggapan.