Jakarta, Gatra.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengecam terjadinya kasus kekerasan di lingkungan pondok pesantren di Kediri, Jawa Timur yang mengakibatkan hilangnya nyawa satu orang santri BB (14).
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menegaskan, Kemen PPPA akan terus mengawal dan memantau proses hukum para tersangka sembari terus melakukan pendampingan bagi keluarga anak korban.
Nahar mengatakan, pihaknya sangat prihatin kekerasan masih terus terjadi di pondok pesantren. Ia menilai, peristiwa ini harus menjadi alarm keras bagi para institusi atau lembaga keagamaan dalam membentuk lembaga pendidikan yang melindungi para murid.
“Kami berharap tidak ada lagi anak yang menjadi korban akibat kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan, khususnya pondok pesantren,” ujar Nahar dalam keterangannya, Rabu (28/2).
Dilansir dari informasi yang didapatkan oleh Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, pihak keluarga anak korban telah menerima kabar mengenai meninggalnya anak korban pada 23 Februari lalu. Pihak ponpes mengatakan, anak korban meninggal karena sakit lambung dan terjatuh di kamar mandi.
Pihak ponpes juga mengaku anak korban telah dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong. Jenazah anak korban pun dipulangkan kepada keluarga.
Namun, saat keluarga menerima jenazah anak korban, ditemukan darah mengalir dari keranda jenazah. Kecurigaan muncul dan semakin menguat hingga akhirnya pihak keluarga meminta agar kain kafan anak korban dibuka.
Kondisi jenazah anak korban dipenuhi luka. Mulai dari lebam, luka robek, luka sundutan rokok di kaki, luka menganga pada dada, hingga luka jeratan di leher.
Nahar mengatakan, saat ini sudah ada empat terduga tersangka yang diamankan di Polresta Kediri. Mereka adalah MN (18), MA (18), AF (16), dan AK (17). Nahar menyampaikan, salah satu tersangka masih memiliki hubungan keluarga dengan korban, yaitu saudara sepupu.
“Menurut keterangan kakak anak korban, tersangka kerap iri dengan anak korban sebab anak korban sering mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya yang bekerja di luar kota. Ponsel anak korban pun sering digunakan oleh para tersangka untuk bermain game dan lain sebagainya,” jelas Nahar.
Atas perbuatan tersebut, para tersangka melanggar Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Pasal 170 dan pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana penjara 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 15 (lima belas) tahun jika mengakibatkan korban meninggal dunia. Bagi pelaku yang masih berusia anak maka perlu mempedomani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.