Jakarta, Gatra.com - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan anak-anak di Indonesia harus didorong agar mendapatkan imunisasi yang lengkap sejak dini. Menurut Budi imunisasi dapat menjaga anak-anak tetap sehat dan mencegah keparahan penyakit.
Hal tersebut diungkapkan budi dalam acara work shop National Immunization Champion Workshop bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Jumat (8/3).
“Lebih baik promotif preventif daripada kuratif, lebih baik beresin masalahnya di hulu maupun di hilir. Lebih baik sekarang daripada telat gitu kan. Nah program yang promotif preventif itu buat anak-anak kalau saya ngeliatnya satu itu mesti diedukasi keluarganya,” kata Budi.
Dikatakan Budi, di Indonesia pemerintah memberikan 14 jenis vaksin untuk imunisasi rutin anak. Penambahan jenis vaksin yang diberikan gratis, kata Budi, berdasarkan rekomendasi para ahli.
“Imunisasi sendiri di Indonesia tadinya 11 antigen, waktu saya masuk atas rekomendasi teman-teman ahli dinaikin jadi 14 antigen, kita tambahnya tiga.” Katanya.
"Satu PCV itu buat pneumonia, kemudian rotavirus itu buat diare, kemudian HPV itu untuk kanker serviks. Nah dua dari tiga yaitu PCV dan rotavirus kita berikan karena kita lihat nih anak-anak kita paling banyak meninggalnya gara-gara apa? Balita kita kematiannya tinggi, itu lagi mau nurunin supaya nggak malu-maluin,” sambung Budi.
Selain imunisasi, Budi juga mendorong masyarakat untuk rajin melakukan skrining untuk mengetahui apakah ada penyakit atau tidak.
Salah satu penyebab utama kematian tinggi pada balita adalah infeksi. Salah satu infeksi yang tinggi kasusnya di Indonesia adalah pneumonia dan diare. Padahal, kedua penyakit ini ada vaksinasinya.
“Jadi balik lagi untuk bisa anak-anak kita sehat intervensinya itu harus preventif. Salah satunya adalah imunisasi. Nah, imunisasi itu harus diberikan secara lengkap untuk melindungi anak-anak kita supaya nanti daya tahan tubuhnya lebih siap,” ucap Budi.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua IDAI Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan soal workshop imunisasi yang digelar.
Menurutnya, workshop ini mengundang 30 cabang dokter anak di seluruh Indonesia. Selain dokter anak, IDAI mengundang stakeholder lain seperti kelompok guru, ulama, dan masyarakat lain.
“Ini supaya imunisasi itu bukan hanya miliknya dokter tapi awareness-nya itu juga dibantu penyebarannya oleh kelompok masyarakat. Saya kira ini akan sangat efektif kalau menyebarkan (edukasi) imunisasi dengan bahasa mereka,” ujar Piprim.
Piprim menilai, jika guru-guru ikut terlibat dalam kampanye imunisasi di sekolah maka hasilnya akan jauh lebih efektif
“Apalagi HVP ini nanti di usia sekolah ya, nanti akan jauh lebih efektif dibanding dokter aja (yang kampanye. Jadi dokternya, guru-gurunya, orangtuanya, perkumpulan orangtua muridnya itu saya kira perlu dilibatkan semua.”katanya.
Partisipasi semua pihak di berbagai sektor pada gilirannya dapat membuat semua masyarakat menerima imunisasi tanpa ragu-ragu.
Dalam workshop imunisasi ini, Piprim mengajarkan peserta terkait cara komunikasi saat menghadapi orang-orang yang ragu mendapatkan imunisasi.
“Bagaimana menyusun program di daerahnya masing-masing untuk advokasi imunisasi. Jadi enggak selesai sekarang, makanya ini program dua tahun karena kita enggak mau hit and run. Ini terus dikawal dan ada hasil signifikan yang bisa kita dapat di akhir.”ujarnya
Lebih lanjut, Piprim mengatakan bahwa imunisasi di Indonesia menjadi hal penting lantaran situasi di Tanah Air yang kerap mengalami kejadian luar biasa (KLB)
“Kemarin kita dengan KLB polio, difteri juga masih ada, campak masih ada, rubella masih ada. Itu biasanya karena cakupan (vaksinasinya) lebih rendah di masyarakat.” Ungkap Budi.
Rendahnya cakupan imunisasi dapat disebabkan berbagai hal salah satunya informasi keliru yang sampai pada masyarakat sehingga membuat mereka ragu.