Jakarta, Gatra.com - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pada Hari Rabu (24/4) mengumumkan kenaikan suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 25 bps menjadi sebesar 6,25%. Kemudian menaikkan suku bunga deposito facility sebesar 25 bps menjadi 5,50% dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani mengatakan, dengan kebijakan moneter yang cukup agresif ini, setidaknya ada tiga hal yang akan menjadi tantangan. Pertama, kebijakan perbankan yang cenderung akan menaikkan suku bunga kredit, sehingga di sektor usaha akan mengalami kenaikan cost of fund. Hal ini akan mendorong kenaikan Harga Pokok Penjualan (HPP) atas produksi.
“Inilah hal pertama yang perlu dimitigasi, yaitu timbulnya inflasi karena kenaikan harga pokok produksi atau cost push inflation,” kata Ajib di Jakarta pada Kamis (25/4).
Hal kedua yang menjadi tantangan adalah pelemahan daya beli masyarakat. Dengan semakin sedikitnya likuiditas dan potensi kenaikan harga barang, maka daya beli masyarakat akan mengalami tekanan.
“Apalagi pemerintah juga mempunyai ruang fiskal yang relatif terbatas untuk menopang daya beli masyarakat dengan skema bantuan sosial (bansos),” jelas Ajib.
Kemudian, tantangan ketiga menurut Ajib adalah pelambatan ekonomi. Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup bagus pasca pandemi, karena bisa di atas 5%. Tetapi, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi ini sedang menghadapi masalah, yaitu tren yang menurun.
Lalu, di tahun 2022 pertumbuhan ekonomi secara agregat mencapai 5,31% dan tahun 2024 hanya mencapai 5,05%. Adapun, tren menurun ini diharapkan kembali bisa rebound di tahun 2024, sehingga pemerintah membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi pada angka 5,2%.
“Ketika pemerintah membuat kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan, semakin tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan,” imbuh Ajib.
Dengan demikian kata Ajib, pemerintah perlu membuat program dan kebijakan yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang. Untuk mengendalikan inflasi dan bisa tetap dalam kisaran 2,5% plus minus 1%, pemerintah perlu membuat ekosistem bisnis yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, dengan melibatkan semua stakeholder ekonomi yang ada. Termasuk untuk sektor pertanian, perkebunan, maritim, energi dan lainnya.
Sedangkan, untuk menghindari crowding out, menurut Ajib Pemerintah harus fokus dengan menawarkan investasi jangka panjang yang lebih menarik, dibandingkan dengan investasi jangka pendek. Investasi jangka panjang ini harus ditopang dengan kemudahan berusaha dan insentif yang tepat sasaran.
Sedangkan, untuk sisi penguatan nilai rupiah, pemerintah harus fokus dan konsisten dengan transformasi ekonomi yang berorientasi ekspor dan substitusi impor. Selanjutnya secara bilateral perlu membangun kesepakatan untuk transaksi dagang dengan mata uang lokal, atau dedolarisasi.
“Kenaikan tingkat suku bunga acuan, secara umum akan menimbulkan dampak tantangan ekonomi. Pemerintah perlu melakukan penguatan ekonomi, agar bisa mencapai target pertumbuhan dan indikator makro ekonomi yang diproyeksikan,” pungkasnya.