Home Regional Darurat Sampah Yogyakarta Belum Usai dan Ancam Pariwisata, Pakar UGM Tawarkan Solusi Tiga Tahap

Darurat Sampah Yogyakarta Belum Usai dan Ancam Pariwisata, Pakar UGM Tawarkan Solusi Tiga Tahap

Sleman, Gatra.com – Kondisi darurat sampah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum mampu menurunkan tingkat produksi sampah. Belum tuntasnya persoalan sampah dalam jangka pendek mengancam keberlangsungan industri pariwisata Yogyakarta.

Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Chandra W Purnomo, menilai keberanian Pemda DIY menutup Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan tidak dibarengi dengan penguatan sisi tengah dalam sistem pengelolaan sampah.

Bersama wartawan, Chandra berdiskusi soal sampah dalam tema "Menyelami Darurat Tata Kelola Sampah di Yogyakarta".“Dari produsen, sampah seharusnya diolah dan dipilah di Tempat Pembuatan Sementara (TPS), TPS3R, maupun Bank Sampah (Waste Bank). Sebelum akhirnya masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” kata Chandra, Rabu (29/5), di UGM.

Kondisi itu diperparah dengan rendahnya literasi pemilahan sampah di masyarakat, sehingga mereka menjadikan sisi tengah pengelolaan sampah sebagai tempat pembuangan sampah yang utama.

Demikian juga dengan belum tersedianya tempat pengelolaan sampah utama. Selepas TPST Piyungan ditutup, sampah menimbulkan krisis lingkungan dan Yogyakarta mengalami darurat sampah.

“Meski berstatus darurat, jumlah sampah yang dibuang masyarakat tidak berkurang. Bahkan muncul sejumlah titik yang dijadikan tempat pembuangan ilegal,” ucapnya.

Chandra menyatakan penyelesaian persoalan sampah di Yogyakarta harus dibagi dalam tiga tahap. Dalam jangka pendek, Pemda DIY diminta untuk mengaktifkan bank sampah dan TPS3R yang jumlahnya ratusan dan mayoritas dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Di Sleman saja ada 30 TPS3R yang dibangun Kementerian PUPR senilai Rp600 juta namun banyak yang mangkrak. Hanya 10 saja yang beroperasi. Aktifnya TPS3R ini baik di Sleman, Kota Yogyakarta, maupun Bantul akan berdampak pada cepatnya proses pemilahan sampah,” kata koordinator Indonesia Solid Waste Forum (ISWF) ini.

Dalam jangka menengah, teknologi pengelolaan sampah berbasis Refuse Derived Fuel (RDF) harus disiapkan. Teknologi ini menghasilkan bahan bakar yang bisa digunakan industri sekitar sehingga meminimalkan biaya pengiriman sampah ke luar DIY.

Terakhir, dalam jangka panjangnya, Pemda DIY juga mesti menyiapkan pusat pengelolaan sampah skala besar berkapasitas minimal 500 ton per hari. Langkah ini perlu didukung dengan keseimbangan kebijakan desentralisasi dan sentralisasi dalam pengelolaan sampah.

“Daerah menyiapkan tempat pengelolaan sampah sendiri. Sedangkan tempat pengelolaan besar yang dikelola Pemda DIY sebagai cadangan jika tempat pengelolaan di kabupaten/kota tidak berfungsi,” lanjutnya.

Chandra memastikan, jika persoalan sampah ini tidak terselesaikan dengan baik, maka krisis lingkungan mengancam keberlangsungan industri pariwisata Yogyakarta.

Untuk mengatasi persoalan sampah, pada 17 Mei lalu, Pemkot Yogyakarta dan Bantul sepakat menjalin kerja sama dalam pengelolaan sampah. Sampah dari Kota Yogyakarta akan dikelola Pemkab Bantul di TPST Bawuran yang ditargetkan beroperasi akhir tahun ini.

Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menyatakan kepala desa mesti bertanggungjawab pada pengelolaan sampah di wilayah masing-masing. Pemda DIY membantu setiap desa dalam proses pengelolaan sampah dengan anggaran Rp100 juta.

171