Jakarta, Gatra.com – Wakil Ketua Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NU Circle), Ahmad Rizali, mengatakan, buku Panduan Program Sastra Masuk Kurikulum Merdeka bukan hanya memuat konten cabul atau kekerasan seksual, tetapi juga pedofilia hinga LGBT.
Ahmad Rizali dalam keterangan tertulis diterima pada Kamis (30/5), menyampaikan, pihaknya mendapatkan unsur tersebut setelah mengkaji lebih dalam terhadap buku pendukung di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemedikbudristek).
Ia mengungkapkan, sejumlah buku sastra picisan ini tetap diloloskan oleh Kemdikbudristek sebagai bacaan sastra untuk guru dan anak-anak di seluruh sekolah di Indonesia, meskipun mengandung pornografi, kecabulan, pedofilia, dan LGBT.
Ahmad Rizali menyampaikan contoh novel berjudul “Puya ke Puya” karya Faisal Oddang yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2021 yang menjadi Buku Panduan Sastra Masuk Kurikulum untuk mendukung Kurikulum Merdeka Kemenristekdikti.
Ia menyebutkan, di halaman 208 novel tersebut terdapat narasi kekerasan seksual, yakni: Saya merogoh selangkangannya, Memasukkan gagang parang berkali-kali, sebelum saya setubuhi. Malena hanya mampu menangis.
Selanjutnya, pada halam 45 terdapat adegan pedofilia, yaitu kekerasan seksual terhadap anak-anak. Narasi teksnya: Lelaki, bos ayahnya, membunuhnya dengan tidak sengaja......Bos ayah Bumi memasukkan kemaluannya ke pantat Bumi. Akhirnya dia meninggal.
Selanjutnya, di halaman 76 dan 79, terdapat adegan LGBT, yakni: Mister itu menyukai laki-laki, anak laki. Mr Berth kadang-kadang juga suka sama lelaki dewasa, kalau tidak ada anak kecil seperti Bumi waktu itu.
Kemudian pada halaman 79 juga terdapat teks yang mempromosikan LGBT, yakni: Mr. Berth, bos ayah Bumi, mister itu yang aku lihat....tempat kencing Mister itu masuk ke pantat ayah Bumi. Mereka lama-lama seperti capek....kemudian ayah Bumi dicium mister itu.
Contoh-contoh karya sastra dalam Buku Panduan Sastra Masuk Kurikulum tersebut, lanjut Ahmad Rizal, menjadi bukti tragedi intelektual. Sebab, seharusnya para kurator Kemdikbudristek itu bertugas menyeleksi buku sastra yang memiliki nilai sastra tinggi dan memenuhi norma-norma dalam masyarakat.
Mereka harusnya sangat teliti dan menyingkirkan buku-buku yang berisi konten penuh adegan pornografi, kecabulan, dan apalagi pedofilia serta LGBT yang tidak baik bagi anak-anak.
“Program itu harus dihentikan. Para kurator Kemdikbudristek itu harus mampu bertugas memilah mana buku sastra yang baik untuk anak-anak di sekolah dan mana yang tidak baik. Itulah salah satu fungsi kurator,” katanya.
Ia menilai ada nirnalar yang dilakukan Kemdikbudristek, yaitu membuat panduan buku sastra masuk kurikulum yang ternyata banyak berisi buku yang mengandung konten kekerasan seksual brutal bahkan pedofilia dan LGTB.
“Seharusnya semua konten sastra yang berisi kekerasan seksual, persenggamaan, dan pornografi itu dicoret,” katanya.
Ahmad Rizal tegas menyatakan, dengan memasukkan karya pornografi itu dalam buku panduan, Kemdikbud sama halnya dengan sengaja dan resmi mempromosikan pornografi kepada anak-anak di sekolah-sekolah di Indonesia.
Atas dasar itu, NUCircle meminta koreksi secara total buku panduan tersebut. Sebab, jika diteruskan, buku itu akan menjadi referensi pihak sekolah untuk melakukan pengadaan buku-buku cabul tersebut di pasaran.