Jakarta, Gatra.com - Kabar Pemerintah akan memberikan bantuan sosial (bansos) kepada keluarga pelaku dari judi online (judol) menuai perdebatan di masyarakat.
Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi menilai kebijakan Pemerintah tersebut tidaklah tepat. Sebab, pelaku judi baik online maupun konvensional harusnya menerima sanksi atau hukuman, dan rehabilitasi bukan bantuan dari Pemerintah.
“Namanya pejudi itu tetap pejudi, jadi itu melanggar norma dan melanggaran Undang-undang, jadi mereka sebenarnya harus direhabilitasi, para pejudi itu harus ditangkap, tetap diproses secara hukum,” kata Sigit saat dihubungi Gatra, Jakarta, Kamis (20/6).
Sigit menilai, jika Pemerintah atau Penegak Hukum tidak mau menangkap pelaku judol karena dinilai sebagai kejahatan ringan, setidaknya para penegak hukum memberikan sanksi berupa peringatan agar pelaku judi berpikir ulang untuk melakukan aktivitas judi.
“Pelaku membuat pernyataan tidak apa-apa tapi diproses hukum, sehingga aparat penergak hukum bertindak sesuai denga prosedur dan kapasitasnya,” jelas Sigit.
“Negara kita ini negara hukum, negara yang menjunjung tinggi norma-norma, negara yang menghormati asas keadilan, maka kalau ada pelanggar hukum ya harus diproses secara hukum, kalau ada orang yang melanggar keadilan ya harus keadilan yang ditegakan, itu prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar,” imbuhnya.
Keluarga Pelaku Judol dapat Bansos
Dalam kesempatan itu, Sigit juga menilai wacana pemerintah untuk memberikan bansos untuk keluarga penjudi akan menimbulkan masalah baru di masyarakat. Seperti ketidak jeraan bagi pelaku dan mempersulit para penegak hukum untuk menindaklanjuti perjudian di masyarakat.
“Sama saja, nati akan muncul ribuan penjudi online, dan mereka tidak akan jera, malah (merasa) diperlakukan istimewa oleh pemerintah. Kalau pejudi online saja diperlakukan seperti itu, maka pejudi konvensional menolak untuk diadili untuk ditangkap,” ujarnya.
Selain itu, Sigit juga mengatakan bahwa, pemberian bansos kepada keluarga pelaku judol juga akan menimbulkan kecemburuan sosial, dan merugikan masyarakat yang berhak menerima bansos dari Pemerintah.
Menurutnya, keluarga pelaku judol tidak bisa dikatagorikan sebagai masyarakat yang berhak menerima bantuan, karena bisa berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Hal itu dapat membuat penyaluran bansos menjadi tidak tepat sasaran.
“Pejudi online bisa kelompok kaya raya, kemudian diberikan bantuan sosial, itu konsep yang sudah jelas menyimpang jauh dari tujuan semula,” imbuhnya.
Guru Besar Sosiologi Unas itu menegaskan, pelaku judol tidak bisa dikatagorikan sebagai karbon dan berhak menerima bantuan. Alasanya, karena pelaku secara sadar melakukan aktivitas judi yang dilarang oleh negara.
“Sudah tahu berjudi itu tidak mengutungkan malah lakukan itu. Jadi tidak layak kalau mereka diberikan lebel sebagai korban dan kemudian mendapatkan bantuan sosial,” ujarnya.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Selain merugikan masyarakat, pemberian bansos kepada pejudi ataupun keluraga pelaku judi juga dinilai sebagai kebijakan asal-asalan atau tanpa pertimbangan dari pemangku kepentingan. Seharusya kata Sigit, penyelenggara negara dapat menciptakan keadilan dan ketertiban di masyarakat.
“Saya kira itu kebijakan yang dilakukan oleh pejabat yang malas untuk berpikir, juga bisa diartikan kebijakan yang penting mengeluarkan anggaran, jadi mereka tidak melihat apakah sasaranya itu tepat apa tidak,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sigit juga menilai, penggelontoran anggran dengan label bansos untuk keluarga pelaku judol juga bisa diindikasikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, terlebih isu ini keluar mendekati pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada).
“Karena namanya bansos itu ditebar menjelang pemilu, menjelang pilkada, menjelang pilpers. Terus auditingnya itu tidak begitu ketat, tidak begitu transparan karena ditujukan untuk bantuan sosial,” jelasnya.
“Nah ini modus dari para pejabat, jadi itu harus ditegakan, jangan sampai uang rakyat digunakan untuk sasaran-sasaran yang tidak tepat,” pungkasnya.
Untuk diketahui, isu pemberian banos kepada korban judi online ini awalnya dilempar oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy pada Kamis (13/6) lalu. Kemudian, usai menuai kritikan pedas dari masyarakat, Muhadjir mengklarifikasi bahwa, penerima banos tersebut bukalah untuk pelaku judol tetapi keluarga pelaku judol.