Home Ekonomi Industri Pesawat Carter Harapkan Regulasi Tegas terhadap Praktik Grey Charter

Industri Pesawat Carter Harapkan Regulasi Tegas terhadap Praktik Grey Charter

Jakarta, Gatra.com - Fenomena grey charter menjadi perhatian serius bagi industri pesawat carter di Indonesia. Selain mengancam keselamatan penumpang, potensi pendapatan negara dari sektor pajak juga terancam hilang.

Kekhawatiran ini disampaikan oleh para pelaku industri selama Asian Sky Forum: Business Aviation 2024, yang berlangsung di Hotel Shangri-La, Jakarta, dan berakhir pada Kamis (27/6).

"Walau belum ada statistik resmi, diperkirakan sekitar 2-3 dari 10 penerbangan carter di Indonesia termasuk kategori grey," ungkap Chief Marketing Officer Jetset, Harilal Mohanan.

Grey charter merupakan penerbangan yang dilakukan oleh pesawat yang terdaftar sebagai pesawat pribadi namun disewakan secara komersial untuk mengangkut penumpang, mirip dengan kendaraan 'plat hitam' yang beroperasi sebagai 'plat kuning'.

Lantaran tidak terdaftar resmi sebagai pesawat carter, keselamatan penumpang dan asuransi sering kali diabaikan. Banyak pesawat pribadi ini terdaftar di luar negeri dengan pilot asing.

”Di sini (Indonesia, red), kita belum ada regulasi yang solid terkait situasi ini. Terus terang, ini meresahkan secara jangka pendek maupun panjang,” imbuhnya.

Industri carter resmi yang terdaftar di Kementerian Perhubungan terdampak oleh aktivitas ini. Jangka panjangnya, citra industri carter bisa tercemar jika terjadi kecelakaan melibatkan pesawat grey charter, seperti insiden di Malaysia pada Agustus 2023.

"Kami berharap regulator memperhatikan masalah ini," kata Harilal.

Chief Operations Officer Jetset, Dhede Damanik, menambahkan bahwa pemerintah perlu memperhatikan potensi pengembangan industri penerbangan non-airline di Indonesia. Saat ini, Indonesia memiliki penerbangan carter tertinggi ketiga di Asia setelah Singapura dan Jepang.

”Kita di Indonesia itu rata-rata sudah 200 movement take off-landing per bulan, ini sudah sekitar setengahnya dari Singapura,” ungkapnya.

Dengan jumlah yang tinggi, regulasi yang lebih baik diperlukan untuk menangani grey charter dan menjaga potensi pendapatan negara.

"Kita operator yang resmi teregister di (Kementerian) Perhubungan ini kan bayar pajak, semua invoice kena pajak, kalau mereka kan tidak wajib pajak,” imbuh Dhede.

Presiden Direktur Premiair, Tony Hadi, juga berharap ada kesadaran dari pelaku industri untuk bersama menekan perkembangan grey charter yang marak.

”Yang kita sesalkan itu, jangan sampai nanti semisal muncul satu persoalan, semua akan jadi hancur, jadi ayo lah kita lurus-lurus saja,” tegas Tony.

103

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR