Wonogiri, Gatra.com – Memperingati hari jadi ke-30, Teater Ruang kembali menggelar festival seni Gerilya Budaya yang menyuguhkan tema Njawil Raga Nyenggol Rasa di Sanggara Teater Ruang, Kota Wonogiri, Jawa Tengah.
Tema ini juga bisa diartikan sebagai usaha untuk mengetuk pintu-pintu rumah, pintu-pintu hati ke berbagai penjuru tempat untuk membuka ruang kesadaran diri bahwa semua orang butuh berinteraksi. Memberi ruang dan waktu bagi setiap hati untuk saling merasakan, memberi dan menerima apa yang dimiliki.
Keberadaan keberagaman serta kemajemukan dapat dimaknai tanpa hadirnya perdebatan kosong yang tak pernah berujung, tentang siapa yang benar, dan siapa yang salah. Kamu punya, aku punya, mari kita bagi. Aku tak punya kamu tak punya, mari bersama-sama mencari.
Ketika Ragamu kejawil dan Rasamu kesenggol, maka biarkan semua peristiwa baik mengalir alamiah, dan berikan kebaikan kepada yang membutuhkan meski hanya sedikit yang kita punya.
Sorak Sorai terdengar semakin mendekat, nyanyian dolanan tradisional Jawa yang didominasi anak - anak mengawali pagelaran dengan bersemangat. Diiringi tabuhan lesung dan kombinasi gamelan, nyanyian - nyanyian tersebut berhasil memukau penonton.
Kelompok Dumping Laras Selogiri menyuguhkan karya yang bersemangat, dipadukan dengan Wayang Dol Dol alias wayang Dolan Dolanan yang dibawakan oleh Madjid Panjalu, dalang cilik asal Kediri dengan kelihaiannya dalam meliak liukan wayang, serta menggabungkan bahasa yang mudah dimengerti dan berhasil mengemasnya dengan sajian khas Generazi sekarang.
Tren suara klakson Basuri yang identik dengan Bus ini diracik secara ciamik kolaborasi antara dalang Madjid Panjalu dan penabuh gamelan wayang dari Dumping Laras Selogiri.
Mereka Membuat ruang bermain, ruang imajinasi dan rasa dengan merepresentasikan keaktifan pikiran dan polah mereka, hingga ketika kelak mereka dewasa, mampu membuat ruang-ruang dalam diri mereka lebih hidup dan manusiawi.
Tak ada alasan di manapun kita tinggal di tempat terpencil atau terpelosok untuk tidak menjadi besar.
Penampil berikutnya dari Teater Sangir Sragen menyajikan Dhelikan. Ini adalah permainan anak-anak jaman dulu, namun sekarang, anak - anak malas melakukannya karena memang sekarang bukan jamannya lagi dan bisa di anggap tidak keren dan terlalu berkeringat.
Teater Monolog oleh Widiaji Panuntun turut hadir menambah panjang Larik-larik Nora Titik. Dimana semua bersama belajar melihat dan merasakan sejarah sebuah tempat yang memiliki cerita dan keistimewaan hingga kini, yaitu Majasto atau Bumi Arum.
Tak ketinggalan juga turut menyajikan kelompok Sandur Sedhet Srepet Bojonegoro. Kelompok Sandur yang masih sedikit tersisa di Bojonegoro ini menyajikan Krocok kricik (bunyi uang koin). Proses bertani dari masa tanam hingga panen dan menikmati hasil panen dengan cara bersuka ria tak lepas bagaimana peran uang dalam pertanian yang berdampak terhadap kehidupan sosial dengan Khas Logat bahasa Bojonegoroan.
Gelaran ini ditutup teatrikal spritual dari Mbah Lawu Arta dan komunitas Lembu (Lemah Budaya).Mereka menyguhkan pesan, bahwa melakukan spirit gotong royong adalah bentuk cermin merawat kebhinekaan dari warisan leluhur.