Jakarta, Gatra.com – Pihak keluarga almarhum Djohan Effendi mendesak ATR/BPN untuk segera mencabut sertifikat Ir. Santoso Halim atas tanah dan rumah di Jalan Kemang V Nomor 12, Jakarta Selatan (Jaksel).
Perwakilan pihak keluarga almarhum Djohan Effendi, Gilang, ditemui Gatra.com di rumah tersebut pada akhir pekan kemarin, menyampaikan, pihaknya juga mendesak agar ATR/BPN menerbitkan sertifikat bahwa tanah dan rumah tersebut milik Djohan Effendi.
Ia menjelaskan, pihaknya mendesak ATR/BPN melakukan itu sebagaimana putusan Tata Usaha Negara (TUN) Nomor 547/F/2023/PTUN JKT tanggal 19 Maret 2023 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) terkait rumah tersebut.
“Kami sudah menang di PTUN, sudah inkracht, seharusnya sertifikat atas nama Santoso Halim dibatlkan dan dikembalikan atas nama om saya, Djohan Effendi. Tapi sampai sekarang belum juga beralih ke Om Djohan Effendi,” katanya.
Pihaknya mengajukan gugatan dengan tergugat kepala ATR/BPN Jaksel di PTUN Jakarta. Amar dalam putusan tersebut menyatakan bahwa SHM milik Ir. Santoso Halim atas tanah dan rumah tersebut tidak berlaku dan memerintahkan kepala ATR/BPN Jaksel untuk menerbitkan sertifikat tanah dan rumah itu milik Djohan Effendi.
Ia menjelaskan, pihaknya mengajukan gugatan di PTUN Jakarta setelah rumah tersebut beralih kepemilikan menjadi atas nama Santoso Halim secara ilegal atau melawan hukum dan adanya putusan pidana terhadap Husin Ali Muhammad serta putusan PK dari perkara gugatan yang diajukan Ir. Santoso Halim.
Peralihan tersebut berwal dari tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana Husin Ali Muhammad. Awalnya dia menyewa rumah pada tahun 2016. Dengan dalih akan menurunkan daya listrik dari 22 ribu Watt ke 6 ribu Watt, Husin meminta fotokopi dua setifikat tanah dan rumah yang disewanya.
Setelah diberikan, beberapa waktu kemudian, Husin kembali menelepon Djohan Effendi. Dia menyampaikan bahwa pihak PLN menyatakan bahwa permohonan harus melampirkan sertifikat asli.
Lantaran Husin terkesan baik, yakni kerap menggelar pengajian di rumah tersebut, Djohan Effendi pun mengantarkan sertifikat rumahnya. Di rumah yang disewa Husin, Djonan Effendi menunggu di teras rumah setelah menyerahkan sertifikat. Sementara Husin masuk ke dalam rumah.
Husin kemudian kembali menemui Djohan Effendi untuk menyerahkan sertifikat. Ternyata, Husin sudah membuat sertikat palsu dan menukarnya. Dia memberikan sertifkat yang palsu kepada Djohan Effendi.
Selepas itu, Djohan pulang ke rumah. Di rumah kemudian mengecek sertifikat. “Begitu dicek, ada keanehan, kejanggalan, seperti dulu sertifikat ejaan lama, Djakarta. Sertifikat yang dikembalikan itu biasa, Jakarta,” katanya.
Lebih lanjut Gilang menyampaikan, sesuai keterangan almarhum kala itu, besoknya dia ke kantor ATR/BPN Jaksel untuk mengecek keabsahan sertifikat. “Ternyata, begitu di BPN Jaksel, setelah dicek, sertifikat tersebut tidak pernah diterbitkan oleh BPN dan dicap merah,” ujarnya.
Setelah itu, Djohan Effendi menemui Husin dan mempertanyakan kenapa yang dikembalikan sertifikat palsu. Dia pun meminta agar Husin mengembalikan sertifikat asli. “Iya, karena yang asli dipegang oleh pihak PLN. Nanti akan dikembalikan,” kata Gilang menirukan dalih Husin.
Namun Husin hanya menyampaikan janji-jani manis ketika setiap kali ditagih. Karena tak kunjung menepatinya, perkara ini pun sempat dimediasi di BPN Jaksel. Telebih lagi tanah itu sudah beralih kepemilikan mejadi atas nama Ir. Santoso Halim.
“Semua yang turut terlibat, dari notaris, Santoso Halim, kami kelurga hadir. Di dalam Mediasi pihak BPN mengakui bahwa ada cacat administrasi karena adanya Djohan Effendi figur [Halim] yang menjadi om saya tapi bukan om saya,” ujarnya.
Dalam mediasi tersebut, Ir. Santoso Halim menyampaikan akan segera mengembalikan sertifikat Djohan Effendi karena jual-beli tanah dan rumah itu cacat administrasi.
“Lalu setelah mediasi tersebut kami menagih, mengejar Santoso Halim untuk menagih janji pada saat mediasi di BPN. Itu berjalan berbulan-bulan, hampir satu tahun kita berjalan,” katanya.
Gilang yang mendapat kuasa dari Djohan Effendi untuk mewakilinya, mengungkapkan, Santoso Halim kerap menyampaikan janji untuk bertemu guna menyerahkan sertifikat tersebut, di antaranya agar menemui di kantornya.
“Kita ikuti waktunya Santoso Halim untuk bertemu di kantornya sesuai dengan waktu yang dia tentukan, mulai waktunya, tempatnya tetapi dia tidak pernah hadir. Padahal dia menentukan waktunya. Itu lama sekali,” katanya.
Sedangkan agar sertifkat tidak disalah gunakan, Djohan Effendi sempat memblokir kedua sertifikat tersebut di ATR/BPN Jaksel. Namun entah kenapa, blokir tersebut bisa dibuka tanpa memberikan konfirmasi kepada pihak pemohon ketika ATR/BPN Jaksel akan membuka blokir.
“Bisa dibuka juga blokir ini oleh oknum ini. Kan aneh. Ya saya duga kuat ada kerja sama oknum orang BPN. Saya tidak bilang ini ada kerja sama dengan pihak BPN, tapi duga kuat ada, karena ya dengan komputer saja sudah terdetek seharusnya,” kata dia.
Gilang menegaskan, ini menjadi tanda tanya. Terlebih pada saat mediasi, pihak ATR/BPN mengakui adanya cacat administrasi. Bahkan figur Halim yang menjadi Djohan Effendi itu NIK KTP-nya kelebihan 1 digit.
“Itu sudah tanda taya, kok bisa lakukan balik nama, dari NIK saja kelebihan satu digit. Foto berbeda. Pokoknya identitasnya berbeda, tidak sama seperti Om Djohan yang asli,” tandasnya.
Lantaran Husin Ali Muhammad dan Satoso Halim tidak beritikad baik, Gilang sempat menyampaikan kepada Djohan Effendi agar melaporkan kasus ini ke polisi. Djohan dari awal sudah wanti-wanti kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan, karena dia enggak mau punya musuh dan tidak punya musuh.
“Tapi karena kondisinya seperti ini, ini harus Om, kita harus buat laporan polisi,” kata Gilang ketikan menyampaikan kepada Djohan Effendi kala itu.
Akhirnya dibuat laporan polisi (LP) pada Januari 2017 di Polrestro Jaksel. Singkat cerita, polisi menetapkan Husin Ali Muhammad dan Halim sebagai tersangka memasukkan keterangan palsu pada akta otentik. Halim adalah orang yang direkasaya sebagai Djohan Effendi dan menjual rumah kepada Ir. Santoso Halim.
Singkat cerita, Husin Ali Muhammad divonis 4 tahun penjara hingga putusannya berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan dijebloskan ke penjara. Adapun Halim sampai saat ini masih menjadi buronan dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polrestro Jaksel
“Panjang perjalanan, dari 2017 kita buat laporan sampai sekarang 2024, sudah inkracht pun kami dipersulit untuk mendapatkan sertifikat kami kembali,” ucapnya.
Pihak keluarga juga melaporkan Ir. Santoso Halim serta notaris Lusi Indriani dna Vivi Novita Randireksa ke Pola Metro Jaya (PMJ) atas dugaan melanggar Pasal 266 dan 264 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
PMJ telah menetapkan mereka sebagai tersangka. Namun, hingga saat ini kasusnya belum dilimpahkan ke tahap II karena Tim Jaksa Peneliti Kejarti DKI Jakarta menilai berkas penyidikannya belum lengkah (P21).