Home Gaya Hidup Melihat Sekaten Tanpa Pasar Malam & Maknanya

Melihat Sekaten Tanpa Pasar Malam & Maknanya

Yogyakarta, Gatra.com – Tradisi Sekaten digelar lebih khidmat tahun ini tanpa perayaan pasar malam dan menggantinya dengan pameran sejarah tentang jejak pendiri Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Sekaten menjadi bukti Islam menjadi rahmat bagi semua dan dapat berakulturasi dengan budaya Jawa.

Pameran Sekaten bertajuk “Sri Sultan Hamengku Buwono I: Menghadang Gelombang, Menantang Zaman” digelar di Bangsal Pagelaran dan Kompleks Sitihinggil Keraton Yogyakarta pada 1-9 November 2019. Raja Keraton Yogyakarta, sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X membukanya pada Jumat (1/10) malam.

Pameran ini bagian dari rangkaian tradisi Sekaten dalam menyambut Maulid Nabi atau hari lahir Nabi Muhammad. Saat Sekaten, sepasang gamelan keraton akan dimainkan secara non-stop hingga perayaan Garebeg Mulud, berupa pembagian gunungan apem dan hasil bumi sebagai wujud syukur ke Tuhan.

Dalam sejarahnya, permainan gamelan ini mengundang orang-orang supaya datang berkumpul di Masjid Gedhe Keraton untuk mendengar dakwah dan kisah nabi.

Wakil Ketua Panitia Pameran Sekaten 2019 GKR Bendara menjelaskan karya monumental tentang Sultan Hamengku Buwono I 'Babad Ngayogyakarta' saat tur kuratorial Pameran Sekaten 2019, Jumat (1/10). (GATRA/Arif hernawan/far)

Di Pameran Sekaten, riwayat gamelan Sekaten juga ditampilkan lewat narasi dan foto. Salah satunya tentang pembagian koleksi gamelan kerajaan Mataram seiring Perjanjian Giyanti ke Yogyakarta dan Surakarta.

Keraton Yogyakarta mendapat Kanjeng Kyai Guntur Madu, sementara Kasunanan Surakarta kebagian Kanjeng Kyai Guntur Sari. Untuk melengkapi gamelan di Yogyakarta, Sultan HB I pun memerintahkan pembuatan Kanjeng Kyai Nagawilaga.

Selain gamelan, pameran ini juga menampilkan sejumlah artefak budaya dan riwayatnya yang bercabang dua ke Yogyakarta dan Surakarta di era Sultan HB I seperti wayang, batik, dan keris. Wayang Arjuna hasil tatahan HB I pun turut dipamerkan.

Naskah Perjanjian Giyanti yang menjadi tonggak berdirinya Keraton Yogyakarta juga ditunjukkan ke publik. Uniknya, salah satu bagian dari naskah 24 halaman itu membentuk cetakan tinta berwujud hati dan tim kurator belum tahu sebab hal ini.

Babad Ngayogyakarta menjadi karya monumental di ajang ini. Manuskrip seribuan halaman ini menceritakan pemerintahan HB I, termasuk ajarannya agar tak ambisius dan toleran pada sesama. Karya ini ditulis pada 1817 di masa pemerintahan HB IV atau 25 tahun sepeninggal HB I .

Koleksi menarik lainnya adalah Kanjeng Kyai Tandhu Lawak. Sejak digunakan Sultan HB I,  tandu tertua di Keraton Yogyakarta ini secara perdana dipamerkan untuk publik. Tandu dari kayu jati ini digunakan HB I di masa tuanya untuk beraktivitas di sekitar kompleks keraton. Ketika itu tandu diusung delapan orang, tapi saat memindahkannya untuk pameran ini butuh tenaga sekitar 25 orang.

Saat tur kuratorial sebelum pembukaan, Wakil Ketua Panitia Pameran Sekaten 2019 GKR Bendara ingin Pameran Sekaten perdana ini tampil spesial dan segar. Menurut dia, dengan adanya pasar malam, selama ini Sekaten memang banyak pengunjungnya, tapi minim informasi dan edukasi ke masyarakat.

Untuk itu, Pameran Sekaten digelar dengan menghadirkan sejarah dan makna Sekatan beserta riwayat para sultan secara bergiliran tiap tahun. “Kami tambahkan mural-mural di pameran ini untuk anak milenial yang suka spot-spot Instagramable,” ujarnya.

Wakil Ketua Panitia Pameran Sekaten 2019 GKR Bendara menjelaskan karya monumental tentang Sultan Hamengku Buwono I 'Babad Ngayogyakarta' saat tur kuratorial Pameran Sekaten 2019, Jumat (1/10) (atas). Tandu di masa tua Sultan HB I (tengah). Ilustrasi batik gaya Yogyakarta di Pameran Sekaten 2019 (bawah). (GATRA/Arif hernawan/far)

Budayawan Achmad Charis Zubair menjelaskan ada tidaknya pasar malam sekadar dinamika saat Sekaten karena yang terpenting substansi tradisi tersebut, yakni penghargaan Islam atas budaya lokal seperti penggunaan gamelan sebagai sarana dakwah.

“Sekaten dari kata ‘syahadatain’ (syahadat, sumpah keimanan dalam Islam) ini menunjukkan akulturasi luar biasa Islam yang menghormati sosio-kultural di mana Islam itu berada. Islam menjadi rahmat bagi semua. Mungkin kalau sekarang orang mengira, Islam itu harus berwajah kultur tertentu,” ujar Zubair di sela mengikuti tur kuratorial.

Ajang ini pun turut menjadi bukti bahwa Keraton Yogyakarta tidak seperti ucapan-ucapan provokatif di media sosial yang melarang kegiatan kelompok Islam tertentu beberapa waktu lalu. “Itu provokatif. Itu sudut pandang, seringkali sudut pandang bukan mencari kebenaran tapi melakukan kebenaran berdasarkan kepentingan. Ini yang harus kita jaga,” ujar dia kepada Gatra.com.

 

739