Home Hukum Tapa Pepe di Keraton Yogyakarta, Lima PKL Minta Tak Digusur

Tapa Pepe di Keraton Yogyakarta, Lima PKL Minta Tak Digusur

Yogyakarta, Gatra.com - Lima pedagang kaki lima di Jalan Brigjen Katamso atau perempatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, melakukan tapa pepe atau aksi menjemur diri di depan Keraton Yogyakarta selama 1,5 jam, Senin (11/11).

Terdiri dari tiga pria dan dua perempuan, lima pedagang ini mengadukan nasibnya ke Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Hal ini terkait rencana penggusuran di tempat usaha yang mereka tempati.

Perwakilan pedagang, Sugiyadi, mengatakan persoalan ini bermula saat lima pedagang ini mengajukan permohonan izin penggunaan tanah kekancingan atau Sultan Ground ke pihak keraton pada 2010 silam. Namun pihak keraton menolak dengan alasan pengajuan izin itu sudah ditutup.

“Tapi setahun kemudian, pada 2011 Keraton malah mengeluarkan pengajuan izin penggunaan tanah kekancingan yang diajukan Eka Aryawan. Pada 2015, Eka berusaha menguasai lahan 73 meter yang selama puluhan tahun kami tempati. Bahkan Eka menggugat kami senilai Rp1 miliar ke pengadilan,” ujarnya.

Saat itu, Eka menggugat lima pedagang itu karena lokasi usaha mereka menutupi rumah toko Eka. Lima pedagang pun pindah dan membuka usaha di sisi selatan toko tersebut, tepatnya di pojok barat simpang tiga Gondomanan di Jalan Brigjen Katamso, Prawirodirjan, Gondomanan. 

Namun pada Selasa (12/11) besok, lahan para pedagang di sekitar Jalan Brigjen Katamso itu juga digusur. Hal ini karena lahan itu dianggap masih bagian dari tanah kekancingan yang izin gunanya dipegang Eka.

Sugiyadi mengatakan, tapa pepe ini bertujuan agar raja Sultan memberi keadilan atas kondisi mereka. “Kami hanya meminta tidak digusur dan diperkenankan tetap berdagang di sana. Sebab sebelumnya sudah ada kesepakatan yang intinya PKL tetap bisa berjualan di luar tanah kekancingan,” ujarnya.

Kuasa hukum PKL dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DIY, Budi Hermawan, berkata LBH DIY akan tetap melakukan pendampingan. Sebab para PKL sudah berada di kawasan itu sejak 1960-an.

“Itu pun atas arahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selain itu, selama ini para PKL juga taat membayar pajak ke negara dan mendapatkan aliran listrik. Artinya, mereka bukan PKL liar,” kata Budi.

Lima PKL Gondomanan melakukan tapa pepe (menjemur diri) di depan Keraton Yogyakarta, Senin (11/11), agar tidak digusur dari tempat usaha mereka. (GATRA/Kukuh Setyono/re1)

Mengenai rencana eksekusi tanah dan penggusuran pada Selasa (12/11) oleh pengadilan, Budi menilai tindakan itu janggal. Pasalnya, putusan kasasi dan putusan eksekusi turun pada 2018, tapi penggusuran baru dilakukan akhir 2019.

“Selain itu, saat sidang, hakim ketua juga menyatakan bahwa 28 meter persegi yang ditempati PKL bukan merupakan bagian dari 73 meter persegi kekancingannya Eka Aryawan. Artinya mereka sudah di luar kekancingan,” papar Budi.

Kuasa hukum Keraton Yogyakarta Aciel Suyanto juga malah mempertanyakan rencana eksekusi tanah yang digelar besok. “Kami dari Keraton besok pun akan mempertanyakan. Yang akan dieksekusi apanya? Kalau tanahnya kan tidak bersengketa. Tanah itu milik Keraton jadi tidak bersengketa, tapi yang bersengketa itu haknya,” kata Aciel.

Aciel menganggap rencana pengadilan untuk mengeksekusi tanah dan bangunan adalah rancu dan keliru. Ia bahkan menyatakan kalau penggusuran tetap berlangsung atas nama Eka, pihak keraton berhak mencabut izin penggunaan tanah kekancingan tersebut.

Namun Aciel mengatakan pihaknya tidak ingin membicarakan soal kemungkinan PKL diizinkan berusaha lagi di lahan itu. Ia tidak ingin terjebak dan menilai hal ini bukan menyangkut persoalan tanah. “Melainkan menyangkut hak atas tanah antara keduanya,” ujarnya.

Usai melakukan tapa pepe pada jam 11.00 sampai 12.30 WIB, kalangan pedagang berencana berziarah ke makam-makam Raja Ngayogyakarta, terutama di makam Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk berdoa dan mengadukan nasibnya.

 

249