Home Internasional Nganggur di RI, Pengungsi Afghanistan Andalkan Donasi Masjid-Gereja

Nganggur di RI, Pengungsi Afghanistan Andalkan Donasi Masjid-Gereja

Jakarta, Gatra.com – Ratusan pengungsi Afghanistan dan etnis Hazara melakukan aksi damai di Taman Monas, Jakarta Pusat, pada Rabu (19/1), sebelum menyambangi kantor Amnesty International Indonesia di Menteng untuk memohon bantuan kemanusiaan.

Muhammad Yasin Alimi adalah salah seorang dari ratusan pengungsi itu. Ia mengaku bahwa nasib para pengungsi Afghanistan di Tanah Air terkatung-katung selama lebih dari satu dekade terakhir. Salah satu yang ia keluhkan adalah terkait akses pekerjaan bagi pengungsi.

Tanpa pekerjaan alias nganggur, Alimi mengungkapkan bahwa para pengungsi memanfaatkan donasi dari lembaga-lembaga kemanusiaan untuk menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari. Salah satunya adalah Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

“Kebanyakan pengungsi tak punya pemasukan di sini. Oleh karena itu, mereka harus menemukan organisasi-organisasi yang bisa memberikan bantuan kemanusiaan,” kata Alimi kepada Gatra.com di lokasi aksi.

“Ada juga gereja, masjid, lembaga amal, donasi kemanusiaan. Terlebih lagi donasi jumlahnya sangat rendah,” imbuh pria yang melarikan diri dari Afghanistan dan datang ke Indonesia pada tahun 2014 itu.

Alimi menyebut bahwa kenyataan mereka tak bekerja bukan disebabkan oleh minimnya lowongan kerja di Indonesia, melainkan karena RI belum mengaksesi (menandatangani dan meratifikasi) Konvensi Pengungsi 1951.

Apabila mengaksesi konvensi tersebut, maka Indonesia berkewajiban untuk memberikan hak pekerjaan kepada pengungsi dari negara asing. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 17 Ayat (1) Konvensi Pengungsi 1951, yang berbunyi sebagai berikut:

“Negara Pihak akan memberikan kepada para pengungsi yang tinggal secara sah di wilayah Negara tersebut perlakuan yang paling baik yang diberikan kepada warga negara dari negara asing dalam keadaan yang sama mengenai hak untuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan upah.”

Tanpa aksesi konvensi tersebut dari pihak pemerintah Indonesia, Alimi menyebut bahwa kehidupan mereka sulit selama lebih dari sepuluh tahun terakhir.

“Bisa Anda bayangkan kami berada dalam keadaan sult seperti ini dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Kami menderita luka psikis, mental, dan fisik. Lebih dari 100 orang melakukan percobaan bunuh diri dan sekitar 60-70 orang di antaranya benar-benar merenggut nyawanya sendiri,” katanya.

Itulah mengapa para pengungsi ini bersikukuh untuk melakukan pemukiman ulang di negara ketiga (resettlement) di negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, atau Selandia Baru. Itulah yang diutarakan para penungsi dalam aksi damai di Jakarta hari itu.

Saat menyambangi kantor Amnesty International, para pengungsi memohon agar Amnesty bisa memberikan bantuan kepada mereka berupa upaya negosiasi dengan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

“UNHCR berkewajiban untuk berkomunikasi dengan negara-negara yang bisa menerima pengungsi di seluruh dunia. Sayangnya, mereka belum melakukan pekerjaan mereka dengan baik sejak bertahun-tahun lalu,” keluh Alimi.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan kesiapannya untuk memenuhi beberapa permintaan pengungsi tersebut, dari mulai pembentukan tim khusus, riset, hingga upaya bantuan ‘resettlement’.

“Kita akan melakukan penelusuran lebih jauh. Mereka meminta Amnesty untuk membentuk tim. Tadi saya memutuskan untuk membuat tim dan mereka berharap kita melakukan penelitian dan kami akan melakukan penelitian itu. Mereka meminta kami berkirim surat dengan UNHCR, kami akan lakukan itu juga,” tegas Usman ketika ditemui wartawan.

56