Jakarta, Gatra.com- Rentetan acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 sudah digelar. Puncaknya akan dihadiri oleh para pemimpin negara di Bali pada 15-16 November 2022 mendatang.
Pengamat politik internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nanto Sriyanto menilai, pemerintah sudah melakukan hal yang maksimal untuk gelaran G20 ini. Ini terlihat saat pertama kali Indonesia menerima tampuk kepemimpinan G20 dari penyelenggara atau negara sebelumnya.
Nanto mengatakan, ada usaha lebih yang dikerahkan oleh pemerintah Indonesia terhadap hajat besar ini. Memang gelaran ini awalnya diharapkan sebagai momentum untuk bangkit dari pandemi Covid-19. Akan tetapi lebih dari itu; adanya geopolitik dan konflik di kawasan Ukraina-Rusia. Ini, kata Nanto, juga jadi tantangan utama.
Baca Juga: Kontribusi KTT G20 ke PDB Indonesia Bisa Tembus Rp7,4 Triliun
"Saya rasa pemerintah sudah address semua itu secara pantas," kata Nanto melalui sambungan telepon kepada Majalah Gatra Kamis (27/10).
Nanto mengungkapkan, sebagai anggota, Indonesia tak hanya menyampaikan kepentingannya saja. Dalam lingkup ASEAN, Indonesia juga harus mempertimbangkan kekuatannya sebagai kekuatan menengah, karena juga memiliki hubungan dengan Korea-Australia. Ia melihat, Indonesia sudah mengambil ceruk dengan kapasitas dan misi diplomasi.
G20 harus inklusif. Nanto menyebut, negara penyelenggara harus bisa mengarahkan persoalan ekonomi global, bukan hanya didominasi oleh negara maju. Ini sejurus dari sejarah perubahan G7 menjadi G20.
"Artinya sejak 2008 keterlibatan negara-negara dengan beragam latar ekonomi dan kawasan ekonomi global butuh koordinasi dan inklusivitas. Saya rasa Indonesia sepakat keanggotaannya di G20," Nanto menjelaskan.
Indonesia sendiri punya agenda prioritas dan berangkat dari pertimbangan negara lain. Maksudnya, sudah ada agenda bersama yang dibawa dalam perhelatan akbar itu. Misalnya, soal energi terbarukan.
Baca Juga: Jelang KTT G20, Transaksi Valas Melonjak Hingga 40%
Nanto menjelaskan, Indonesia harus memainkan isu diplomasi yang sangat sesuai dengan karakter dan kapasitasnya.
"Indonesia mendorong energi terbarukan. Katakanlah nasionalisasi sumber daya alam (SDA), bisa buat Indonesia aktif bermain di industri listrik. Dari sana kita bisa menajamkan. Karena enggak semua isu bisa kita mainkan," kata Nanto.
Nanto melihat, ada dampak yang dituai dari perhelatan besar itu. Indonesia harus memaknai politik bebas aktif, yang dinilai Nanto, saat ini begitu krusial. Menurutnya, mau tidak mau, Indonesia berdiri di atas semua pihak tanpa mengabaikan sisi normatif dari tatanan internasional, kedaulatan, juga persoalan wilayah.
Selain itu, tidak hanya bangkit dari pandemi, tetapi adanya semangat aktor ekonomi global yang harus dijaga. Sebab menurut Nanto, sifatnya tidak bisa ditentukan lagi oleh sekelompok orang saja.
"Jaga momentum koordinasi. Tantangan inklusivitas dan koordinasi ini isu penting, jadi mandat kepemimpinan selanjutnya," dia menandaskan.