Home Hukum YLBHI: Kondisi Hukum, Demokrasi, dan HAM Indonesia Buruk

YLBHI: Kondisi Hukum, Demokrasi, dan HAM Indonesia Buruk

Jakarta, Gatra.com – Peneliti Senior Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rakhmah, mengatakan, kondisi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia sangat buruk bahkan berbahaya dalam kurun waktu 7 tahun terakhir

“Situasi negara hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia di Indonesia tujuh tahun terakhir dalam keadaan yang sangat mundur dan berbahaya,” kata Rakhma dalam paparan yang diterima pada Senin (5/12).

Menurutnya, hal tersebut merupakan hasil dari laporan dan catatan YLBHI beberapa tahun lalu yang dipaparkan dalam beberapa judul, yakni “Reformasi Begerak Mundur, Demokrasi Digerogoti” (2017)“, “Derita Rakyat di Bawah Kuasa Modal” (2018), “Reformasi Dikorupsi Oligarki” (2019), dan “Otoritarian Telah Sempurna Kembali ke Indonesia dalam Kadar Tertentu” (2022).

Ia menjelaskan, situasi negara hukum, demokrasi, dan HAM dalam kondisi yang sangat mundur dan berbahaya ini ditandai dengan banyak hal, yakni demonstrasi kembali dianggap kegiatan terlarang, operasi militer ilegal, dan pembunuhan di luar proses hukum tanpa peradilan.

“Jalannya pemerintahan yang koruptif hingga pembangunan skala besar tanpa bertanya dan mendengarkan keinginan rakyat serta berdampak pada perampasan ruang hidup rakyat,” katanya.

Dalam webinar gelara Asosiasi Pengajar Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dan Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia (LEHI), Rakhma mengungkapkan, ada sejumlah kebijakan membahayakan demokrasi dan meruntuhkan substansi hukum.

Kebijakan-kebijakan tersebut yakni rencana darurat sipil dalam penanganan Covid-19, rencana pembebasan narapidana korupsi (koruptor) karena Covid-19, pelibatan militer dalam pelaksanaan protokol kesehatan, dan pengamanan pam swakarsa.

Selanjutnya, rancangan Perpres Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme, komersialisasi jasa pengamanan dari polisi dan militer oleh perusahaan, pemberangusan kebebasan berpendapat oleh surat telegram Kapolri, dan penerjunan pasukan ke Papua.

Kemudian, revisi UU dan agenda pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembentukan dan pengesahan UU Ciptakerja, pengesahan perubahan UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan pengesahan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Setelah itu, pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi UU, dan pelarangan mengambil Foto dan rekaman persidangan tanpa izin.

Bukan hanya itu, masih banyak lagi kebijakan yang dinilai YLBHI menjadi persoalan, di antaranya penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara serampangan hingga upaya-upaya penghambatan, pembubaran, bahkan kekerasan, dan penangkapan terhadap aksi-aksi damai warga negara, seperti pada aksi May Day, dan lain-lain.

Sesuai catatan YLBHI pada akhir tahun 2022, kata Rakhma, jumlah korban penangkapan meningkat drastis, yakni 3.539 orang dari tahun sebelumnya sebanyak 1.144 orang. Adapun total kasus penangkapan sewenang-wenangnya mancapai 65.

Adapun pelanggaran atas hak bebas dari penyiksaan 38 kasus dengan korban 474 orang, hak atas dokumen yang layak BAP 8 kasus dengan korban 17 orang, hak atas upaya penyitaan dan penggeledahan 16 kasus dengan korban 277 orang.

Selanjutnya, hak atas akses bantuan hukum sebanyak 33 kasus dengan jumlah 1.265 orang, undue delay 49 kasus dengan korban 944, peradilan yang objektif dan tidak memihak 23 kasus dengan korban 115, bebas dari salah tangkap dan diputus bebas sebanyak 22 kasus dengan korban 249 orang, bebas dari penahanan sewenang-wenang 33 kasus dengan korban 326, dan bebas dari penangkapan sewenang-wenang 65 kasus dengan korban 3.5?39.

Lebih jauh Rakhma menyampaikan potret pelanggaran fair trial atau pidana sebagai alat membungkam. Pertama, penangkapan sewenang-wenang berikaitan demonstrasi, di antaranya aksi mahasiswa Papua. Penangkapan bahkan dilakukan sebelum aksi unjuk rasa terjadi.

“Pada 27 Januari di Jakarta, aksi menolak otonomi khusus dan menolak tambang. 1 Mei 2021 aksi Mayday 16 orang ditangkap. Juli, 50 mahasiswa Papua saat aksi di depan gedung MPR/DPR. September 2021, penangkapan 17 mahasiswa Papua saat aksi depan Kedubes Amerika,” katanya.

Menurutnya, masih banyak lagi penangkapan lainnya terkait aksi unjuk rasa mahasiswa Papua, di antaranya penangkapan sewenang-wenang disertai penyiksaan dan penyitaan barang-barang tanpa dasar serta penangkapan serupa terhadap 5 orang di Semarang.

Kasus lainnya adalah kriminalisasi kepada pihak tertentu yang tengah mempertahankan ruang hidup, yakni 8 orang di Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumsel saat mempertahankan lahan yang sedang berkonflik dengan perusahaan sawit.

Selanjutnya, Kades di Kinipan dengan dugaan rekasaya dengan tuduhan korupsi. Dia sedang berkonflik dengan perusahaan sawit. Kriminalisasi terhadap warga Pakel di Banyuwangi, dan kriminalisasi dua orang warga Waduk Sepat yang menutup saluran air waduk karena membanjiri permukiman warga.

Penangkapan juga bukan menyasar masyarakat, tetapi juga terhadap pengacara publik dari sejumlah LBH. Pada 2021-2022l, sebanyak 10 orang ditangkap, yakni dari LBH Jakarta 3 orang, Semarang 1 orang, Manado 4 orang, dan Yogyakarta 2 orang. Sedangkan ancaman kriminalisasi ada dua, yakni terhadap direktur LBH Bali dan LBH Padang.

Adapun untuk jurnalis, kata Rakhman, sesuai catatan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pada tahun 2020, Divisi Advokasi AJI mencatat ada 84 kasus terhadap jurnalis. Angkanya naik dari tahun sebelumnya sejumlah 52 kasus. Ini angka paling tinggi sejak AJI memonitor kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Adapun kasus kekerasan terhadap jurnalis yang paling dominan adalah intimidasi dan kekerasan fikik. Selain itu, perkembangan yang paling merisaukan adalah meningkatnya kualitas jenis serangan digital terhadap media.

Sedangkan kasus kekerasan trhadap jurnalis dari tahun 2006-2022 sebanyak 925. Untuk tahun 2022 sebanyak 22 kasus, 2021 sebanyak 43 kasus, dan 2020 sebanyak 84 kasus.

Untuk potret peradilan, ujar Rakhma, Menkopolhukam Mahfud MD bahkan sampai menyebut korupsi saat ini lebih parah dibandingkan dengan zaman Orde Baru (Orba). Akibatnya, kata Rakhma, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2020 turun 37 menduduki peringkat 102 dunia.

256