Jakarta, Gatra.com - Kepentingan dan keamanan publik mendorong pemerintah untuk segera melakukan Revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Urgensi ini terus didorong beberapa lembaga yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE.
Keinginan untuk merevisi UU ITE bukan tanpa alasan. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menyebutkan bahwa temuan dari rekan-rekan masyarakat sipil membuat hal ini semakin penting dan harus segera dilakukan.
"Faktanya hari ini, UU ITE itu diskriminatif. 70% digunakan oleh pejabat publik, aparat, orang yang punya modal, untuk melaporkan masyarakat yang melakukan kritik dan koreksi," kata Arif di Jakarta, Senin (13/3).
Baca juga: LBH Jakarta Tagih Janji Jokowi Soal Revisi UU ITE yang Bisa Melindungi Rakyat
Wacana revisi UU ITE kali ini memang sudah yang kedua kali. Tapi, merujuk pada temuan fakta dari Koalisi Serius Revisi UU ITE terdapat kekhawatiran jika pemerintah tidak bertindak, upaya kriminalisasi akan terus dilakukan.
"Bahkan, UU ini bukan untuk memperjelas, desainnya bukan untuk melindungi warga, bukan untuk melindungi hak berekspresi warga, hak berpendapat warga negara," ucap Arif.
Berbagai organisasi yang fokus pada permasalahan seputar internet, LBH yang aktif memberikan bantuan hukum, atau peduli soal kebebasan pers, serta sering melakukan pendampingan pada perempuan kasus kekerasan, menyebut kalau UU ITE rentan disalahgunakan.
Baca juga: Dugaan Korupsi di Graha Telkom Sigma, Kejagung Ungkap Nilai Proyek Fiktif Capai Rp354 Miliar
"Termasuk oposisi yang kritik pemerintah. Tetapi (UU ITE) justru jadi alat represi, alat untuk membungkam suara-suara publik," ujarnya.
Memasuki tahun politik, UU ITE ini dinilai semakin rentan posisinya. Terlepas dari manuver-manuver yang akan dilakukan bakal calon, pelabelan hoaks atau berita bohong pada satu sama lain dinilai bisa memperkeruh, bahkan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.