Jakarta, Gatra.com – “Ada berbaju loreng menurunkan baliho Habib Rizieq. Itu perintah saya!” Kalimat itu dilontarkan Jenderal TNI Dudung Abdurachman pada November 2020 saat menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya). Pernyataan tegas tersebut disampaikan Dudung merespon video viral prajurit TNI yang mencopot baliho pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
Dalam wawancara khusus yang disiarkan YouTube Kompas TV pada 16 April 2021, Dudung mengaku memerintahkan prajurit TNI menurunkan baliho Habib Rizieq di wilayah DKI Jakarta. Perintah itu diberikan setelah sebelumnya upaya penertiban baliho oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) gagal karena baliho berlatar wajah Habib Rizieq kembali terbentang.
“Udah tidak benar karena dipasang seenaknya sendiri, emang Republik punya dia (FPI)? Orang lain pasang baliho itu ada aturannya, tempatnya ditentukan, dan bayar pajak. Bukan sesukanya sendiri, merasa paling beribadah, paling bertakwa, makanya saya ambil tindakan tegas seperti itu,” kata Dudung.
Pencopotan baliho tersebut, lanjut Dudung, dilakukan dengan berkoordinasi dengan jajaran kepolisian. Dudung yang saat itu masih berpangkat Mayjen berinisiatif untuk menurunkan semua baliho yang dipasang FPI. Tanpa rasa ragu serta mengantongi restu atasan, Dudung lekas mengambil sikap.
Terlebih, ia menilai spanduk dan baliho yang dipasang FPI sebagian besar bernada provokatif dan berpotensi mengancam persatuan di kalangan anak bangsa. “Kalau dibiarkan terus seperti ini akan bahaya. Saya tidak mau dalam setiap kebijakan tidak ada getarannya. Saya harus berbuat. Saya dengan kepolisian segala macam bergabung, berkoordinasi, saya copotin balihonya,” ujar Dudung.
Sikapnya yang tegas dan tak neko-neko juga terlihat saat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal Dudung Abdurachman menemui peserta aksi unjuk rasa yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kejadian itu terekam pada 8 Oktober 2020 saat mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Dudung yang saat itu menjabat Pangdam Jaya menemui langsung mahasiswa dan pimpinan demonstrasi. Saat itu terjadi dialog alot antara Dudung dengan mahasiswa. Ketegangan terjadi karena mahasiswa berkukuh ingin berdemonstrasi di halaman Istana Negara. “Mereka (mahasiswa) memaksakan kehendak akan ke Istana, saya katakan itu tidak bisa diduduki begitu saja kecuali aparat negara atau aparat keamanan yang berhak bertugas di situ,” katanya.
Setelah berdialog panjang dan memakan waktu lama, Dudung menyampaikan pernyataan tegas kepada mahasiswa. “Kalian kalau memaksakan kehendak akan berhadapan dengan saya,” ujar Dudung. Uniknya, pernyataan itu ia keluarkan sembari memegang gagang pistol di pinggang.
Meski situasi memanas, Dudung mengaku apa yang ia lakukan hanya sebatas reaksi spontan. Ia tak bermaksud mengambil tindakan kepada mahasiswa, apalagi menakut-nakuti sekelompok anak muda terpelajar itu. Menurut Dudung, gaya “khas”-nya akan keluar dalam kondisi-kondisi tertentu.
“Saya pegang pistol saya, saya enggak akan nembak, tapi biar tahu bahwa saya tidak takut sama mereka,” Dudung mengisahkan. Singkat cerita, setelah berdialog lama, Dudung dan mahasiswa sepakat menunda dialog lantaran masuknya waktu azan. Menariknya, mahasiswa meminta sang jenderal untuk menjadi imam salat berjamaah. Suasana cair dan akrab terlihat di antara jemaah TNI dan mahasiswa, keduanya seakan melupakan ketegangan yang terjadi. Tunduk dalam satu perintah Tuhan. “Saya pikir ini kita berhadapan dengan Yang Maha Kuasa, tidak mungkin ada orang yang macam-macam,” ucap Dudung.
Setelah salat selesai, Dudung lalu menyebarkan sejumlah brosur yang berisikan penjelasan ringkas dari RUU omnibus law Cipta Kerja yang menjadi sasaran unjuk rasa mahasiswa. Draft itu diperolehnya langsung dari Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marvest) Luhut Binsar Pandjaitan. “Saya jelaskan kepada mahasiswa ini loh [penjelasan] tentang omnibus law, pernyataan yang sebenarnya jadi jangan mendengar sepihak,” katanya.
Mahasiswa yang tergabung dengan kelompok aksi unjuk rasa menurutnya memahami RUU omnibus law Cipta Kerja yang disusun dalam bentuk penjelasan tertulis. Setelah dialog usai, mahasiswa meminta izin untuk pulang dari lokasi unjuk rasa. Hanya saja, muncul kendala di mana mereka mengalami kesulitan untuk pulang ke kediamannya lantaran suasana sudah larut malam.
Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman saat itu langsung berinisiatif mengawal mahasiswa pulang ke kediaman serta menawarkan tumpangan kendaraan TNI untuk mengantar sekawanan mahasiswa. Tak kurang terdapat 30 orang prajurit yang mengawal mahasiswa pulang ke kediamannya dengan aman atas perintah Dudung. “Kita kawal dengan 30 orang prajurit, 15 di sebelah kanan, 15 di sebelah kiri, akhirnya mereka pulang dikawal sama pasukan TNI dan Polri,” ujar Dudung.
Sikapnya yang tegas, humanis, dan cepat mengambil keputusan menjadi ciri dari orkestra kepemimpinan Dudung. Sebagai seorang pimpinan tinggi di kesatuan TNI, Dudung bukan sosok yang peragu dalam mengambil keputusan terutama dalam situasi genting dan berisiko. Ia punya landasan pemahaman bahwa seorang pemimpin sejatinya harus berani mengambil keputusan.
“Kalau keputusan itu benar berarti bagus. Kalau keputusan itu salah, masih bagus daripada tidak berani sama sekali. Saya ingin dalam setiap kali menjabat, terutama di Kodam Jaya, menjabat itu harus ada getarannya dan harus ada pengaruhnya,” Dudung menjelaskan.
Dirinya mengaku bukan tipikal perwira yang “main aman” dalam kursi jabatan. Berbagai terobosan selalu dibangunnya berdasarkan inisiatif dan suara nurani. Mulai sejak menjabat Gubernur Akademi Militer (2018-2020), Pangdam Jaya/Jayakarta (2020-2021), dan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat/Pangkostrad (2021-2022).
“Saya tidak mau dicatat dalam satu jabatan kita landai-landai saja, saya enggak mau. Saya pikir apa yang harus saya perbuat untuk bangsa ini apalagi di DKI Jakarta, ini barometer. Kalau Jakarta aman, maka semuanya akan aman,” ujar Dudung.
Karena itu, selama menjabat Pangdam Jaya, ia betul-betul sensitif melihat persoalan. TNI menurutnya harus siaga menciptakan iklim dan suasana bernegara yang kondusif. “Kejadian 1998 ketika Jakarta goyang, goyang seluruh daerah. Ini saya bilang kita perlu ketegasan terutama ketegasan-ketegasan yang hakiki. Namun, tetap kita berpedoman pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”.
Pegangan Hidup
Jenderal TNI Dudung Abdurachman menyadari mengarungi bahtera hidup bagi manusia tidak akan pernah lepas dari ujian dan risiko hidup. Karena itu, ia berpegang pada hati nurani agar menjadi pribadi yang pemberani. “Nabi Muhammad mengajarkan orang-orang yang tidak berani mengambil risiko adalah orang-orang yang merugi. Saya enggak mau datar-datar saja, saya cari aman saja saya tidak mau,” ucapnya.
Selagi nuraninya berbisik bahwa apa yang dilakukan berada dalam jalur yang benar, Dudung akan menempuhnya tanpa ragu. Kebijakan yang dilakukan tentu berlandaskan pada pijakan UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. “Selagi saya kepentingan untuk merah putih, untuk republik, jangan ragu-ragu, jangan setengah-setengah, dan jangan main-main. Saya berbuat begitu saja,” kata Dudung.
Ketika menjabat Pangdam Jaya, Dudung menekankan kepada prajuritnya agar menjadi pribadi pemberani. Hal itu dilakukan karena personel TNI memikul tanggung jawab berat, yakni melindungi bangsa dan negara. TNI berada di garis terdepan memberikan keamanan bagi masyarakat dari segala gangguan dan ancaman.
“Saya ajarkan kepada prajurit Kodam Jaya, kamu harus jadi petarung, kamu harus jadi jagoan, dan kamu harus jadi pemberani. Jangan jadi ‘ayam sayur’, kalau jadi itu kalahan. Harus jadi jagoan,” tuturnya.
Karena itu, di setiap apel dan briefing pasukan, Dudung tak henti-hentinya menyampaikan kepada prajurit agar berpegang teguh kepada Delapan (8) Wajib TNI. Terutama pada poin ke delapan, yakni menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya. “Kita harus hadir di tengah-tengah mereka. Rakyat sedang kesulitan kamu harus hadir. Karena TNI itu berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Kita digaji oleh rakyat. Terus kalau enggak kerja membela rakyat, terus ngapain?” ucap Dudung.
Dudung berpesan agar prajurit menunjukkan dedikasi dan kiprah yang terbaik bagi bangsa dan negara. “Cari kesulitan-kesulitan rakyat yang bisa kamu bantu, kamu hadir di situ. Kita ini lahir sebagai tentara rakyat, tentara nasional, dan tentara pejuang,” tandasnya.
Kenyang Pengalaman Hidup
Jenderal Dudung Abdurachman lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 19 November 1965. Ia merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara. Ayahnya, almarhum Achmad Nasuha adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di Bekangdam (Perbekalan dan Angkutan Kodam) Kodam III/Siliwangi yang meninggal dunia saat Dudung masih duduk di bangku SMP. Sepeninggal ayahnya, ia menjalani pendidikan sembari membantu ekonomi keluarga untuk bertahan hidup.
Dudung remaja memutuskan untuk membantu ibunya, almarhumah Nasiyati, menjajakan kue klepon terutama ke kantin Kodam Siliwangi III/Siliwangi. Selain menjadi penjaja kue, Dudung juga pernah nyambi sebagai loper koran. Dengan jadwal sekolah yang masuk siang, ia leluasa bekerja di pagi hari, baik sebagai penjaja kue atau seorang loper koran. “Untuk menopang kehidupan, saya ngantar koran. Saya waktu itu pakai sepeda, remnya pakai sandal jepit bekas. Saya antar korannya pagi, sekolahnya siang,” ucap Dudung.
Pekerjaan mengantar klepon dan koran dilakukannya secara bersamaan, terkadang bergiliran. Kebiasaan itu dimulai sejak bangku SMP dan berlanjut di bangku SMA. Suatu ketika, ia mendapatkan pengalaman pahit saat mengantar kue bikinan sang ibu ke Kodam Siliwangi. Seorang prajurit baru di pos jaga menghardiknya lantaran masuk ke halaman Kodam tanpa izin.
Ia dimarahi prajurit yang berpangkat tamtama. Tidak hanya menghardik, sang tamtama juga menendang klepon yang ia jajakan, sehingga berjatuhan 50-an kue ke tanah. Peristiwa itu menjadi kilas balik dalam hidupnya. Bila orang awam, atas peristiwa itu, bereaksi membenci tamtama atau prajurit TNI yang memberi kesan kurang baik, Dudung malah sebaliknya. Ia menanamkan tekad kuat dalam hati bahwa suatu ketika ia ingin menjadi prajurit TNI, prajurit yang baik, dan tidak semena-mena terhadap rakyat kecil. “Saya bilang, awas kalau saya jadi perwira. Di situ naluri saya bangkit menjadi tentara. Di situlah saya berpikir bahwa TNI jangan semena-mena ke rakyat kecil, enggak boleh seperti itu,” pungkasnya.