Home Teknologi Tiwikrama Matahari, Skenario Merah 'Dingin' Kiamat Tata Surya

Tiwikrama Matahari, Skenario Merah 'Dingin' Kiamat Tata Surya

California, Gatra.com- Ketika Matahari tua, dia akan bertiwikrama menjadi raksasa merah. Dan semua tahu, itulah akhir dunia. Untungnya, kiamat dipicu Sang Surya itu baru terjadi sekitar lima miliar tahun lagi

Para ilmuwan telah melihat untuk pertama kalinya seperti apa jadinya ketika Matahari kehabisan bahan bakar nuklirnya dan menelan Merkurius , Venus , dan mungkin Bumi setelahnya.

Mereka telah melihat sebuah bintang menelan sebuah planet yang berjarak hanya 12.000 tahun cahaya di galaksi Bima Sakti di konstelasi elang Aquila. Demikian Daily Mail, 03/05.

Para astronom mengamati bintang sebelum dan setelah memakan seluruh planet. Penampakan itu teridentifikasi ketika para ahli melihat sebuah bintang yang menjadi lebih terang 100 kali dalam 10 hari, sebelum menghilang dengan cepat.

Yang lebih misterius lagi adalah kilatan panas putih ini diikuti oleh sinyal yang lebih dingin dan tahan lama, yang mengarahkan para astronom ke kesimpulan menarik mereka.

Mereka mengatakan kombinasi dari dua peristiwa tersebut hanya dapat dihasilkan bintang yang menelan planet terdekat yang kemungkinan merupakan dunia panas seukuran Jupiter.

Planet itu akan disedot ke atmosfer bintang yang sekarat dan kemudian dikonsumsi di jantungnya. "Kami sedang melihat tahap akhir dari penelanan," kata penulis utama Kishalay De, dari Kavli Institute for Astrophysics and Space Research MIT.

Meskipun kelihatannya menakutkan, pengamatan ini adalah pandangan sekilas tentang nasib Bumi. Meskipun ini tidak akan terjadi selama miliaran tahun, ketika matahari benar-benar terbakar, ia akan menelan planet-planet dalam tata surya dan menjadi kerdil putih.

Ini adalah sisa bintang yang kecil dan padat yang bersinar dari sisa panasnya. "Kami melihat masa depan Bumi," kata De.

"Jika beberapa peradaban lain mengamati kita dari jarak 10.000 tahun cahaya saat matahari menelan Bumi, mereka akan melihat matahari tiba-tiba cerah saat mengeluarkan beberapa material, lalu membentuk debu di sekitarnya, sebelum kembali ke keadaan semula," jelasnya.

Para peneliti dari MIT, Universitas Harvard, dan Caltech menemukan bintang pemakan planet itu pada Mei 2020, setelah menelusuri data Zwicky Transient Facility (ZTF), yang dijalankan di Palomar Observatory Caltech di California.

Namun, butuh 12 bulan lagi bagi mereka untuk menyatukan apa yang sebenarnya terjadi. ZTF memindai langit untuk mencari bintang yang kecerahannya berubah dengan cepat, yang bisa menjadi tanda supernova, semburan sinar gamma, dan fenomena bintang lainnya.

De sedang melihat-lihat data ZTF ketika dia menemukan. "Suatu malam, saya melihat sebuah bintang yang terang dengan faktor 100 selama seminggu, entah dari mana," katanya.

"Itu tidak seperti ledakan bintang yang pernah saya lihat dalam hidup saya," ungkapnya. Untuk mengkonfirmasi dengan tepat apa yang dia lihat, De mulai membandingkannya dengan pengamatan lain dari bintang yang sama yang diambil Observatorium Keck di Hawaii.

Namun, itu hanya membuatnya semakin bingung. Dia menemukan tanda-tanda 'molekul aneh' yang hanya bisa ada pada suhu yang sangat dingin.

Molekul ini hanya terlihat di bintang yang sangat dingin, kata De. "Dan ketika sebuah bintang bersinar, biasanya menjadi lebih panas. Jadi, suhu rendah dan bintang yang cerah tidak bisa berjalan bersamaan," ungkapnya.

Tidak sampai sekitar satu tahun setelah penemuan awalnya, hal-hal itu mulai masuk akal, ketika De dan rekan-rekannya mulai menganalisis data yang berkaitan dengan bintang dari kamera inframerah di Observatorium Palomar.

Analisis mengungkapkan bahwa setelah kilatan panas awal, bintang tersebut mulai mengeluarkan energi yang lebih dingin, yang menurut para astronom kemungkinan adalah gas dari bintang yang melesat ke luar angkasa dan memadat menjadi debu.

Ini membuatnya cukup dingin untuk dideteksi pada panjang gelombang inframerah. Pada awalnya, De dan rekan-rekannya mengira itu adalah dua bintang yang bergabung, sampai data dari teleskop luar angkasa inframerah NASA, NEOWISE, membantu mereka sampai pada kesimpulan yang jauh lebih menarik.

290