Home Hukum Dilema Aborsi Maksimal 6 atau 14 Minggu, Ini Penjelasan IPAS Indonesia

Dilema Aborsi Maksimal 6 atau 14 Minggu, Ini Penjelasan IPAS Indonesia

Jakarta, Gatra.com - Harmonisasi antara Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan terkait isu pengecualian aborsi bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual dengan peraturan yang sudah ada kembali menjadi perdebatan. Direktur Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia, dr. Marcia Soumokil menegaskan, RUU ini hanya membahas aborsi untuk korban kekerasan seksual dan perkosaan, bukan membuat aborsi menjadi pilihan yang bisa digunakan begitu saja.

Faktor yang ditentang oleh Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) adalah soal umur kehamilan yang boleh diaborsi. POGI menentang keras wacana yang dituangkan dalam RUU Kesehatan, yaitu aborsi boleh dilakukan sampai kandungan berusia 14 minggu. Menurut POGI, waktu 6 minggu seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 76.

"Korban pekorsaan tidak ada yang datang sebelum 6 minggu karena mereka masih di-link sama traumanya ya," ucap dr. Marcia Soumokil dalam diskusi daring pada Senin (22/5).

Ia juga menyebutkan, korban pekorsaan akan lebih fokus pada proses pelaporan kasus kekerasan seksual yang dihadapinya ke pihak kepolisian serta sibuk mencari dan menunggu pendampingan. Marcia mengatakan, kecil kemungkinannya korban bisa fokus memerhatikan pola menstruasinya ketika sibuk menghadapi hal-hal ini.

Direktur IPAS Indonesia juga mengajak semua pihak untuk melihat realita. Berdasarkan data yang didapatkan IPAS Indonesia dari empat forum pemberi pendampingan korban pekorsaan dan kekerasan seksual, 14 minggu dinilai lebih masuk akal.

"Pada kasus yang mengalami kehamilan, sebanyak 4.049 (kasus) itu tidak ada satupun yang di bawah enam minggu. Semuanya di atas 6 minggu ketika kehamilan diketahui," kata Marcia.

Faktor lain yang mempengaruhi adalah pemahaman perempuan Indonesia terhadap tubuhnya sendiri. Marcia menyebutkan, cukup banyak perempuan yang belum paham jika siklus menstruasinya terlambat satu bulan berarti umur kehamilannya sudah memasuki minggu ke-5 atau bahkan ke-6.

Semua ini belum termasuk budaya patriarkal yang begitu kental di masyarakat. Stigma masyarakat yang begitu kuat terhadap korban kekerasan seksual, baik itu anak ataupun wanita dewasa, membuat korban kesulitan untuk mendapat pelayanan.

Oleh sebab itu, IPAS Indonesia mendorong agar masyarakat juga ikut mendukung proses hukum di Indonesia yang berusaha melindungi sisi korban. Baik yang sudah dibahas melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau RUU Kesehatan yang sedang dirancang.

272