Jakarta, Gatra.com – Campaigner 350.org Indonesia, Suriadi Darmoko, menilai keputusan Bank BNI untuk terus memberikan pendanaan ke proyek PLTU batu bara baru sebesar 1.1 Gigawatt, yang akan digunakan untuk menyuplai listrik ke smelter aluminium milik Adaro di Kawasan Industri “Hijau” Kalimantan Utara, menunjukkan kemunduran dalam upaya pendanaan berkelanjutan Bank BNI.
Menurut Suriadi, pendanaan yang terus dilakukan BNI tersebut tidak sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak BNI pada bulan September tahun lalu, yang menyatakan bahwa bank tersebut tidak melanjutkan ekspansi ke sektor batu-bara.
“Keputusan BNI untuk mendanai proyek ini adalah kemunduran yang sangat besar bagi pendanaan keberlanjutan. BNI mengingkari janji mereka sendiri dengan menandatangani perjanjian pinjaman ini,” kata Suriadi Darmoko, dalam acara diskusi media bertajuk “Menagih Komitmen Iklim Bank BUMN” secara vurtual dikutip Jumat (7/6).
“Di ulang tahun BNI ke-77, BNI memilih untuk terlibat dalam memperparah laju krisis iklim dengan mendanai PLTU batu-bara baru. Kontribusi pendanaan BNI ke Adaro meningkat sebesar 714% sejak 2021,” jelas Suriadi.
Untuk diketahui, BNI merupakan salah satu dari Bank BUMN yang menjadi anggota sindikasi pinjaman untuk proyek milik Adaro. Berdasarkan penelitian, BNI berkontribusi sebesar US$350 juta ke proyek smelter dan PLTU batu bara baru Adaro.
Segala pendanaan ke aset batu bara memiliki risiko transisi dan risiko stranded asset yang didorong oleh perubahan kebijakan untuk meninggalkan batu-bara. Penelitian yang dilakukan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa pembangunan PLTU dinilai merugikan investor termasuk kreditur dan pemegang obligasi.
“Biaya pinjaman modal aset PLTU batu-bara saat ini relatif mahal dibanding industri lainnya, disebabkan karena risiko aset terkait batubara bisa menurun nilainya sejalan dengan fluktuasi harga batu bara, perubahan kebijakan negara tujuan ekspor, hingga dianggap tidak sejalan dengan upaya transisi energi. Keputusan bank BNI untuk menyokong proyek PLTU baru ini adalah keputusan yang berisiko tinggi bagi perbankan sekaligus reputasi BNI sendiri,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS.
Bhima juga mengatakan, dunia saat ini kian beralih dari batu-bara. Skenario IEA NZE 2050 menyatakan bahwa supply batu bara akan turun sampai dengan 48% selama tahun 2021–2030 dan 91% selama 2021–2050. Terlebih lagi, Indonesia saat ini sudah berkomitmen untuk menutup seluruh PLTU batu bara di tahun 2050 mendatang.
“Tren global menunjukkan bahwa deposan dan investor institusional termasuk pemegang obligasi cenderung memindahkan dana ke bank yang lebih menjauhi portfolio pembiayaan ke PLTU batu-bara," kata Bhima.
Terlebih. lanjut dia, ada komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership ( JETP) yang idealnya inline dengan penutupan PLTU batu bara. Ia menilai agak aneh jika bank masih terjebak pada pola pendanaan PLTU di saat pemerintah sudah berkomitmen terhadap penutupan PLTU.
"Artinya, ada yang tidak sinkron antara perintah dari pusat dan bank BUMN yang seharusnya membantu pemerintah mendorong ekonomi berkelanjutan,” kata Bhima.
Dari beberapa bank Indonesia yang mendanai proyek tersebut, tidak ada yang memiliki kebijakan untuk membatasi portfolio batu bara. Meskipun lebih dari 200 institusi keuangan, termasuk bank global memiliki kebijakan pembatasan tersebut.
Beberapa bank menegaskan komitmen mereka melalui aliansi Net Zero Banking Alliance (NZBA) yang mewajibkan anggota aliansi tersebut untuk membersihkan portfolio dari batu bara, sejalan dengan target iklim global.
“Kebijakan ESG BNI saat ini tidak cukup untuk membatasi pendanaan aset batu bara baru. Maka, sudah waktunya BNI mengikuti komitmen iklim bank-bank global dan menyatakan komitmen yang tegas untuk keluar dari batu bara dan menyelaraskan seluruh portofolio dengan net zero di tahun 2050,” sebut Campaigner Market Forces, Nabilla Gunawan.