Home Ekonomi Neksus Sebut Nikel Indonesia Bukan untuk Baterai Kendaraan Listrik

Neksus Sebut Nikel Indonesia Bukan untuk Baterai Kendaraan Listrik

Jakarta, Gatra.com – Founder Neksus Foundation, Yuyun Ismawati, menyebut bahwa hasil hilirisasi nikel di Indonesia bukan untuk produksi baterai kendaraan listrik Tanah Air.

“Indonesia ini punya sumber daya nikel terbesar di dunia. Mimpinya adalah memanfaatkan nikel ini untuk mendukung industri baterai untuk kendaraan listrik,” katanya.

Yuyun dalam webinar gelaran KAMI bertajuk “Perebutan Penguasaan SDA: Pendanaan Pilpres dan Kerusakan Lingkungan” yang dihelat secara hybrid di Jakarta, Senin petang (5/9), melanjutkan, pemerintah pun memberikan berbagai keringanan untuk mendirikan smelter nikel.

“Insentifnya macam-macam, mulai dari financial investasi segala macam, pajaknya bebas dan sebagainya, enggak usah membayar pajak 20 tahun 100% bebas, boleh, silakan-silakan. Amdalnya gampang, sekarang dengan adanya UU Cipta Kerja, semua dipermudah pokoknya,” ujar dia.

Baca Juga: Bahlil Ungkap Cerita Pesan Khusus Presiden Jokowi Setop Ekspor Nikel

Yuyun menyampaikan, banyak cita-cita dan strategi pemerintah, di antaranya memberikan subsidi kepada masyarakat yang mau membeli kendaraan listrik, yakni sepeda motor.

“Dikasih insentif sekarang adalah kendaraan bermotor roda dua yang dikasih subsidi, dikasih keringanan pajak dan sebagainya. Tapi setelah saya baca-baca lagi, baterai yang digunakan di kendaraan bermotor dua roda ini, sebetulnya bukan nikel,” ujarnya.

Lalu ke mana nikel yang diproduksi atau diekstrak di Indonesia? “Masuknya ke stenles steel, bukan ke baterai, ini gonjang-ganjing mimpi menjadi suplayer baterai kendaraan bermotor di seluruh dunia, tapi realitas sebetulnya berbeda dan salah arah,” ucapnya.

Karena itu, ia menilai bahwa berbagai narasi kesuksesan industri nikel Indonesia untuk menunjang kendaraan listrik dunia ini ambigu. “Kenyataannya untuk stenles steel, bukan untuk baterai,” ujarnya.

Ia lantas menjelaskan smelter di Morowali. Ada sekitar 30 smelter di sana dengan menggunakan dua teknologi, yakni api dan hidro atau air. Puluhan smleter tersebut membutuhkan energi listrik yang sangat besar.

“Industri-industri ini diperbolehkan untuk membangun pembangkit listrik sendiri, misalnya di Morwali itu ada 8 sampai 10 PLTU di satu tempat,” katanya.

Menurutnya, pembangunan PLTU-PLTU tersebut bermasalah karena tidak ada transparasi, termasuk soal polusi dan limbah dari operasi pembangkit listrik tersebut.

“Celakanya, semua kegiatan industri ini tidak dirilis ke publik, jadi tidak ada transparansi, emisi dan polusi yang dilepaskan dari industri-industri stratgis ini ke mana dan apa isinya,” ujar dia.

Ia menyebut bahwa masyarakat dan pekerja yang tinggal sekitaran smelter dan PLTU itu menghirup udara kotor atau polusi dan tidak ada upaya secara khusus untuk mencegahnya karena tidak transparansi.

“Jadi insentif finansial diberikan kepada industri yang kritikal utama ini, seharunya alokasi atau budget dialokasikan untuk sektor lingkungan dan kesehatan,” ujarnya.

Menurutnya, alokasi dana untuk kesehatan ini agar tidak menjebol BPJS akibat kondisi kesehatan masyarakat atau warga sekitar, akibat menghirup pencemaran udar dan air.

“Kalau poluter dibiarkan atau diberikan kemudahan, konsekuensinya alokasi dana yang lebih bersar harus ditempatkan di pos kesehatan dan kebersihan lingkungan,” ujarnya.

Menurut dia, yang terkena Imbas pencemaran udara dan air ini bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang tinggal di daerah itu. “Kita menggadaikan masa depan anak-anak Indonesia untuk keuntungan saat ini, itu terjadi,” ujarnya.

Adapun penyakit-penyakit yang diakibatkan dari pencemaran udara dan air, yakni Ispa, penyakit kulit, kanker, dan lain-lain. Menurutnya, ini juga membahayakan generasi sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang digadang-gadang menjadi generasi emas pada tahun 2045.

“Saat ini saja angka cacat lahir sudah 15%. Jadi anak cacat lahir bukan hanya kesehatan ibunya, tetapi juga bapaknya. Jadi kesehatan pasangan usia subur memengaruhi kualitas anak Indonesia ke depan,” ujarnya.

Meski angka kematian menurun terus, kata dia, tetapi angka stanting di Indonesia ini tinggi, yakni nomor 4 di dunia. Ini bukan karena ketidaktahuan orang tua, khususnya kaum ibu, tetapi ada faktor lingkungan yang membuat si anak tidak bisa tumbuh secara optimal, karena terpapar pencemaran.

“Stunting ini juga disebabkan oleh pencemaran lingkungan yang kurang dieksplor. Kalau lihat studi paper macam-macam, ini juga faktor stunting karena faktor lingkungan,” katanya.

Menurutnya, anak Indonesia sekarang punya penyakit baru yang tidak menular, seperti diabetes dan lekimia karena berbagai produk makanan dan minuman serta pencemaran yang sumbernya tidak ditangani.

“Anak-anak kita sekarang ini terlahir sudah tercemar di dalam janin. Karena orang tuanya sudah tercemar,” katanya.

Menurutnya, banyak sekali studi yang menunjukkan bahwa pencemaran sudah masuk ke dalam janin, otak, dan sirkulasi tubuh bayi, termasuk yang baru-baru ini mikro plastik. Mikro plastik ini bukan hanya ukuran, tapi juga ada kimia-kimia di dalam plastik yang memengaruhi tumbuh kembang anak dan kesehatan manusia secara umum. “Jadi nanti larinya ke fertilitas,” ucapnya.

Ia berpandangan, kondisi tersebut bukannya menjadikan generasi emas dengan bonus demografi pada 2045, melainkan generasi cemas akibat hancurnya alam karena dikeruk habis saat ini.

“Ini bukan untung tapi buntung, terutama BPJS yang akan dijebol besar-besaran karena penggunaan dana untuk pengobatan ini akan meningkat terus,” katanya.

Terlebih lagi, ada transisi eviden yang terjadi sekarang dari penyakit menular ke tidak menular. Hampir 70% dana yang digunakan dalam BPJS untuk menangani penyakit-penyakit tidak menular. Ini faktornya adalah kerusakan lingkungan.

Senada dengan Yuyun, ekonom senior Faisal Basri menyampaikan bahwa kendaraan listrik di Indonesia baterainya tidak dari hasil nikel, meski Indonesia mempunyai sumber daya yang sangat bagus dan banyak.

“Kendaraan listrik di Indonesia ini enggak pakai nikel, Ion pospart apa gituh 73%. Jadi dikasih keringanan pajak segala macam itu ujung-ujungnya kan baterai, baterainya itu enggak ada yang dibangun,” ujarnya.

Ia menjelaskan, batuan yang berada di bagian atas yang dikeruk itu kadar nikelnya rendah. Sedangkan yang kadar nikelnya tinggi berada di bagian bawah. Namun ini bukan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.

“Diambillah yang di bawahnya itulah yang paling besar untuk stenles steel dan kawan-kawan. Yang di atas itu dimanfaatkan untuk baterai . Itu yang menimbulkan kerusakan di Halmahera, Pulau Obi,” ujarnya.

Baca Juga: Menaker: Industri Smelter Nikel Ciptakan Lapangan Kerja Baru

Menurutnya, kerusakan alam Indonsia ini sudah parah sehingga angka harapan hidup orang Indonsia terus menurun, bahkan kalah dengan negara Timor Leste yang perekonomiannya di bawah Indonesia.

Angka harapan hidup orang Indonesia sekarang turun ke 67 tahun setelah sebelumnya sempat mencapai 70 tahun. Sekarang di bawah Timor Leste. Sekarang mreka bisa menyusul kita. “Jadi kalau mau panjang umur ke Timor Leste, Faisal Basari berseloroh.

Ia menyampaikan, untuk pasokan listrik smelter menggunakan pembangkit PLTU batu bara yang menghasilkan polusi. “Namun 99% produknya diekspor ke Cina, bukan untuk membangkan industri di dalam negeri,” katanya.

Menurutnya, ini sudah darurat atau SOS. “Ini sudah terlalu telanjang. Kemarin Bahlil katakan, ya memang yang diterima oleh kta itu sedikit, 20-30% saja. Menurut saya tetap pada posisi kurang dari 10%. Hitungannya gampang,” ujarnya.

218