Batam, Gatra.com - Dua bulan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, meneken Peraturan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).
Ini menjadi perubahan ketiga sejak aturan semacam ini ada pada 2021 lalu. Oleh perubahan peraturan itu pula, pengembangan Rempang Eco City masuk dalam daftar PSN tahun 2023.
Rempang Eco City itu direncanakan berdiri di atas lahan seluas 8.142 hektar di Pulau Rempang yang memiliki luas total 17.600 hektar itu.
Kepada Gatra.com kemarin, Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Ariastuty Sirait cerita kalau kawasan Rempang dan bahkan Galang adalah wilayah kerja BP Batam. Itu makanya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) nya ada pada BP Batam.
Lantaran sudah cerita soal HPL, perempuan cantik ini pun merunut kembali gimana cikal bakal berdirinya Otorita Batam, nama yang dibikin oleh pemerintah pusat sebelum nama itu berubah menjadi BP Batam pada 2007 silam.
"Untuk mengoptimalkan Batam menjadi kawasan industri, pemerintah membentuk Otorita Batam. Landasan hukumnya adalah Keppres Nomor 41 Tahun 1973," katanya.
Dalam keputusan yang diteken oleh Presiden Soeharto pada 22 November itu, HPL Pulau Batam diserahkan kepada Otorita Batam.
Sembilan belas tahun kemudian, persis tanggal 19 Juni kata perempuan yang jamak disapa Tuty ini, Presiden Soeharto kembali membikin keputusan bernomor 28. Poin pentingnya adalah; wilayah kerja Otorita Batam diperluas hingga ke Pulau Rempang dan Galang.
Keputusan ini pula yang menjadi cikal bakal Prof. Baharuddin Jusuf Habibie yang saat itu dipercaya Soeharto mengomandani Otoritas Batam, menyambung pulau-pulau yang ada pakai jembatan.
Ada 6 jembatan yang dibangun menghubungkan Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru.
Butuh waktu enam tahun Habibie membangun jembatan itu --- 1992-1998 --- dan menghabiskan duit sekitar Rp400 miliar.
Selain oleh Keppres 28 tahun 1992 itu, kewenangan BP Batam mengelola Rempang dan Galang itu diperkuat lagi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 tahun 2011 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Poin penting yang ada dalam PP itu ada dua. Pertama; Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, Pulau Janda Berhias dan gugusannya.
Kedua; pengelolaan, pengembangan dan pembangunan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dilaksanakan oleh BP Batam.
Lantaran HPL semua lahan tadi ada pada BP Batam, Kementrian ATR/BPN kemudian menerbitkan sertifikat HPL itu atas nama BP Batam. Sertifikat inilah yang kemudian menjadi dasar BP Batam menerbitkan surat Penggunaan Lahan (PL) kepada investor.
"Kalau investor ingin masuk ke Rempang atau Galang, mereka harus membikin pengajuan kepada BP Batam. Prosesnya sama kayak mengajukan alokasi lahan di Batam," panjang lebar Tuty menjelaskan.
Kalau kemudian pada lahan yang diusulkan itu ada masyarakatnya, maka masyarakat itu digeser ke lokasi lain.
Misalnya soal rencana Rempang Eco City. Di sana ada masyarakat yang terdampak. Maka masyarakat itu diberikan kompensasi yang menguntungkan untuk bergeser ke tempat yang baru.
BP Batam menjamin bahwa tempat masyarakat yang baru itu akan lebih tertata rapi. "Pergeseran ini demi kemajuan dan kesejahteraan mereka yang lebih baik lagi di masa mendatang, sejalan dengan suksesnya kegiatan investasi di kawasan Rempang Eco City itu," ujarnya.
Adapun kompensasi yang diberikan terkait Rempang Eco City itu kata Tuty antara lain; hunian baru tipe 45 senilai Rp 120 juta, dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.
"Jelasnya begini; setiap satu rumah yang terdampak, akan diganti dengan satu unit hunian baru. Hunian baru itu akan berada di kawasan Tanjung Banon atau Dapur Tiga Sijantung. Warga tinggal pilih," katanya.
Baca juga: Hunian Sementara BP Batam Bertambah Ramai
Di tempat yang baru itu, fasilitas pendidikan, tempat ibadah, area dermaga pelabuhan ikan, fasilitas olahraga hingga pasar, juga dibangun.
Ruang hijau dan biru seperti hutan mangrove, area penghijauan, pantai, kantor pemerintahan seperti Kantor Kecamatan, Kantor Kelurahan, Polsek, Pemadam Kebakaran hingga Koramil juga ada. Semuanya satu lokasi. Hunian baru ini ditargetkan rampung pada 2024 mendatang.
Nah, lantaran semuanya butuh waktu, masyarakat yang terdampak tadi ditempatkan dulu di hunian sementara. Biaya hidup selama berada di hunian sementara, setiap bulan akan diberikan oleh BP Batam.
Adapun biaya hidup selama masa relokasi sementara itu adalah Rp 1.200.000 per orang dalam satu kepala keluarga (KK). Dalam biaya hidup itu sudah termasuk biaya air, listrik, dan kebutuhan lainnya.
Jadi, kalau misalnya dalam satu KK itu terdapat 5 orang anggota keluarga, maka satu keluarga itu akan mendapatkan biaya hidup sebesar Rp6.000.000 setiap bulan.
Kalau kemudian masyarakat memilih tinggal di tempat saudara atau di luar hunian sementara yang telah disediakan oleh BP Batam, mereka akan diberikan biaya sewa sebesar Rp1.200.000 juta per bulan.
Biaya hidup hingga biaya sewa hunian tadi diberikan sampai warga benar-benar telah menempati hunian baru.
"Saat ini sudah lebih dari 341 warga Rempang setuju untuk digeser. Dari jumlah itu, sekitar 20 warga sudah pindah ke hunian sementara. Sisanya akan segera pindah setelah persyaratan administrasinya lengkap," ujar Tuty.