Home Hukum Advokat Diminta Turun ke Desa untuk Berikan Probono

Advokat Diminta Turun ke Desa untuk Berikan Probono

Jakarta, Gatra.com – Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi DPC Ngawi, Djoko Triyono, menyarankan para peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) untuk terjun ke desa-desa jika sudah menjadi advokat guna memberikan bantuan hukum cuma-cuma atau probono.

“Sekali-kali pengacara atau advokat itu terjun ke desa, berkoordinasi dengan kepala desa misalnya,” kata dia saat menjadi pembicara dalam PKPA Angkatan VIII gelaran DPC Peradi Jakbar-STIH IBLAM yang dihelat secara hybrid pada Jumat malam (10/11).

Menurutnya, hal tersebut biasa dilakukan pihaknya untuk memberikan probono kepada warga desa yang tidak mampu. Pihaknya berkoordinasi dengan kepala desa untuk mengumpulkan warga kurang mampu dan memerlukan bantuan hukum gratis.

“Kumpulin lah orang-orang yang tidak mampu, yang sekira tidak mampu nanti saya akan berikan penyuluhan hukumnya atau konsultasi hukumnya secara gratis,” ujarnya.

Menurutnya, cara seperti itu terbilang efektif dan sangat bagus, karena selain memberikan bantuan hukum, juga memberikan penyuluhan hukum dan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

“Itu malah mengena. Jadi lebih bagus juga. Di Peradi Ngawi sering melakukan seperti itu. Jadi kita pokoknya terus memberikan layanan seperti itu,” ujarnya.

Sedangkan untuk mengidentifikasi seseorang atau kelompok tidak mampu, lanjut Djoko, di antaranya terdapat dalam ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. “Di situ ada kriterianya, baik OBH atau orang atau kelompoknya [yang layak mendapat probono],” ujarnya.

Namun demikian, kata dia, advokat juga bisa memakai kriteria yang sering dihadapi di tengah kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah melihat KTP pihak yang meminta bantuan atau pendampingan hukum probono.

“Biasanya PBH Peradi lihat KTP, di situ lengkap identitas, dari KTP itu dapat lihat wilayahnya. Misal di Gunung Sari, itu desa miskin karena posisi grafisnya di kawasan pinggir hutan. Otomatis pendapat per kapita dan SDM-nya masih rendah,” ujarnya.

Kemudian secara formil warga atau orang tersebut menunjukkan dokumen legalitas dari pemerintah bahwa dia masuk dalam kategori warga kurang mampu. Dokumen tersebut berupa KIS, BPJS Kehatan, beberapa kali menerima PKH.

“Itu salah satu bentuk legalitas dia masuk orang tidak mampu. Di dalam persidangan, biasanya dilampiri lagi SKTM oleh desa yang dikeluarkan camat,” katanya.

Malahan kalau di Pengadilan Agama, lanjut dia, syaratnya ditambah, yakni memberikan bukti kalau pencari keadilan ini pernah menerima bantuan dari pemerintah, misal ada bukti undangan terima bantuan sembako.

“Itu masih suruh dilampirkan. Kalau di Pengadilan Negri enggak, cukup KIS, KTP, SKTM. Itu yang tepenting untuk mengatakan orang itu dikategorikan tidak mampu yang perlu kita dampingi. Itu saja sudah cukup,” katanya.

Beda lagi kalau warga kurang mampu berhadapan dengan hukum pidana, misalnya menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan. Karena ancamannya di atas 5 tahun penjara, maka harus didampingi pengacara.

“Kita dampingi karena ditunjuk penyidik. SKTM-nya biasanya yang alami kesulitan, itu surat [dari] Kemenkumham,” ujarnya.

Ketentuan itu cukup sulit. Namun untuk mengatasi kesulitan tersebut, SKTM-nya bisa dimintakan kepala kesatuan kepolisian unit atau dari Kasatreskrim, sehingga tidak perlu dari lurah atau camat.

“Jadi kalau enggak ada surat dari Kemenkumham enggak bisa didampingi, enggak seperti itu. Kita cari terobosan hukum supaya orang itu terlindungi,” ujarnya.

218