Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum (Ketum) Peradi, Prof. Dr. Otto Hasibuan, tegas menyatakan pengangkatan advokat oleh organisasi advokat (OA) di luar Peradi merupakan pelanggaran berat.
“Organisasi yang tidak diberikan wewenang mengangkat advokat, itu pelanggaran berat, itulah disobedience dari para penegak hukum yang lain,” ujar Otto dalam pembukaan PKPA Angkatan IV DPC Peradi Jakbar dan UPN Veteran Jakarta pada Jumat petang (17/8).
Otto menegaskan, itu merupakan pelanggaran hukum berat karena hanya Peradi yang dipimpinnya yang berwenang mengangkat advokat sebagaimana kewenangan dari negara melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tetang Advokat.
Ia menegaskan, tidak mungkin ada organisasi swasta biasa yang boleh mengangkat advokat yang merupakan penegak hukum. Harusnya yang mengangkat advokat ini adalah negara, namun ini didelegasikan kepada Peradi melalui UU Advokat.
“Ini yang membedakan kita [Peradi] sebagai penegak hukum advokat. Ini yang membedakan Peradi ini dengan organisasi-organisasi advokat yang lain,” ujarnya.
Ia menjelaskan, hanya Peradi yang dipimpinnya yang boleh mengangkat advokat dan melaksanakan 7 kewenangan lainnya, karena dalam UU Advokat sistemnya single bar atau wadah tunggal. Dalam UU Advokat menyatakan asas tunggal, yakni Peradi sebagai single bar.
“Kita adalah single bar dan Peradi kita itu sesuai UU Advokat sebagai single bar. Namun faktanya ada upaya-upaya untuk menjadikan multy bar, atau lebih dari satu wadah advokat yang mempuyai kewenangan fungsi negara,” ujarnya.
Hampir semua negara, lanjut Otto, menganut sistem single bar organisasi advokat. “Oleh karena itu, menjadi cita-cita, tetap mempertahankan dan memperjuangkan single bar yang sudah diatur di UU Advokat,” katanya.
Otto menegaskan, single bar itu bukan berarti hanya boleh ada satu OA. Boleh sajak ada 100 hingga 200 atau jumlah lain OA. Ini merupakan bentuk kebebasan berserikat sebagaimana dijamin UUD Republik Indonesia.
Tetapi, ujar Otto, OA-OA selain Peradi itu bukan pemegang mandat yang bisa melaksanakan 8 kewenangan negara yang diberikan kepada Peradi, di antaranya menyelenggarakan PKPA dan mengangkat advokat.
“Jadi yang mempunyai kewenangan itu hanya satu, yaitu organisasi kita, Peradi. Itulah yang disebut single bar,” tandasnya.
Atas dasar itu, Otto menegaskan bahwa PKPA yang diselenggarakan di luar Peradi ini merupakan masalah serius. “Beberapa PKPA di luar Peradi, itu menjadi masalah karena yang sesungguhnya harus melaksakan PKPA ini adalah Peradi,” ujarnya.
Bukan hanya dari sisi legalitas, PKPA di luar Peradi juga bermasalah karena tidak dilaksakan sesuai ketentuan sehingga menghasilkan advokat-advokat yang tidak berkualitas. Ini sangat merugikan masyarakat, khususnya para pencari keadilan.
Atas dasar itu, Otto menyatakan para peserta PKPA Angkatan IV DPC Peradi Jakbar-UPN Veteran Jakarta telah berada di jalur yang tepat karena memilih dan mengikuti PKPA di Peradi.
“Karena sepengetahuan saya, PKPA ini selalu dilaksanakan dengan konsisten, pengajar-pegajar bermutu, dan selalu mengikuti silabus dan semua aturan-aturan yang ditetapan DPN Pradi,” katanya.
Ketua DPC Peradi Jakbar, Suhendra Asido Hutabarat, menyampaikan, peserta PKPA Angkatan IV berjumlah hampir 186 orang. Pihaknya mempunyai tanggung jawab moral untuk melahirkan calon-calon advokat berkualitas, berintegritas, dan profesional.
“Kami giat melaksanakan, karena kami sadari bahwa teman-teman mengetahui single bar itu masih ada, dan kami berupaya mempertahankan itu. Bahwa satu-satunya organisasi advokat menurut UU Advokat sampai saat ini adalah Peradi di bawah kepemimpinan Prof. Otto Hasibuan,” ujarnya.
Penyimpangan dan pelanggaran hukum tersebut terjadi karena adanya SK MA Nomor 73 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi (PT) bisa melakukan penyumpahan calon advokat yang diajukan oleh organisasi dari luar Peradi.
“Ini merupakan disobedience konstitusi sehinga lahirlah OA-OA lain yang sebenanya enggak jelas namanya,” ujar dia.
DPC Peradi Jakbar terus berupaya untuk tetap menyelenggarakan PKPA yang berkualitas demi melahirak calon-calon advokat berkualitas, berintegritas, dan profesional.
“Kami pastikan bahwa di Peradi itu zero KKN. Kalau nanti UPA, kelulusannya itu hanya karena kemampuan teman-teman, enggak ada yang bisa menjanjikan, saya pun tidak bisa,” tandasnya.
Terakhir ia berpesan, kalau nanti lulus dan menjadi advokat, maka jagan hanya menjadi advokat komersil karena ada kewajiban memberikan probono atau bantuan hukum cuma-cuma atau gratis kepada masyarakat kurang mampu.
“Tidak hanya menjadi advokat komersil, tetapi juga mau membela masyarakat miskin, memberikan access to justice,” katanya.
Ketua Umum (Ketum) IKADIN, Adardam Achyar, menyampaikan, para calon advokat sebaiknya mengambil spesialiasi hukum, misalnya hukum bisnis, perbankan, dan lainnya. “Advokat dan calon advokat harus siap mengambil spesialiasi,” ucapnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Hukum UPN Veteran, Dr. Slamet Tri Wahyudi, S.H., M.H., menyampaikan bahwa advokat merupakan profesi yang luhur atau officium nobile.
“Namun demikian, ketika peran advokat untuk menegakan keadilan, dan keberanan dalam perjalanannya kerap dianggap menghalang-halangai proses penegakan hukum oleh oknum penyidik,” ujarnya.
Padahal, lanjut dia, advokat itu sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur hukum dan aturan atau perundang-undangan namun dinilai menghalang-halangi proses penegakan hukum.
Menurutnya, ini harus menjadi catatan karena seharusnya seperti di IDI, yakni ketika penyidik akan memanggil dan menetapkan seorang dokter sebagai tersangka terkait pekerjaan atau profesinya, maka harus terlebih dahulu meminta izin atau berkirim surat kepada Dewan Kehortaman IDI.
“Ini fenomena beberapa teman-teman advokat kita yang kemudian diproses. Ini harapan saya tetap kepada single bar,” katanya.