Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi, Prof. Otto Hasibuan, mengatakan, penanganan kasus pembunuhan Vina dan Ekky terkesan serampangan sehingga banyak kejanggalan. Pasalnya, tiga orang DPO atau buronan, kemudian dua orang di antaranya, yakni Andi dan Dani dinyatakan fiktif alias gaib.
Otto dalam konferensi pers di Peradi Tower, Jakarta Timur (Jaktim), pada Jumat petang, (7/6), menyampaikan, meski baru membaca sekilas dari putusan dan dakwaan bahwa dalam perkara ini ada 11 orang tersangka. Dari jumlah itu, sebanyak 8 orang sudah diadili.
“Dalam dakwaan ini ada 11 yang didakwa melakukan perbuatan pidana, kemudian di antara 11 orang itu, ada 3 yang buron,” katanya.
Otto lebih lanjut menyampaikan, dari tiga orang yang dinyatakan buron dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), yakni Andi dan Dani itu lantas dinyatakan fiktif setelah polisi menangkap Pegi Setiawan alias Perong.
“Saya membaca dengan cepat berkas perkara ini, ini sangat-sangat aneh,” ucapnya.
Otto menjelaskan, logika hukumnya sesuai dengan data dan rangkaian peristiwanya yakni yang didakwa dan dituntut dalam perkara pembunuhan Vina dan Ekky adalah sebanyak 11 orang. Sebanyak 8 orang telah divonis dan menjadi terpidana. Satu orang, yakni Saka Tatal telah bebas.
“Mereka didakwa secara bersama-sama melakukan pembunuhan, berencana, [Pasal] 340 [KUHP]. Yang mana kami belum melihat jelas di mana perencanannya dan apa sebab musababnya orang ini berencana membunuh Vina dan Ekky,” ujarnya.
Ia menegaskan, tidak mungkin ada pembunuhan berencana kalau tidak ada sebab musababnya. Karena ini tuduhannya melakukan pembunuhan secara berencana pasti ada sebabnya yang membuat mereka melakukan pembunuhan.
“Itu akan kami teliti untuk membuat PK [peninjauan kembali]-nya [Sudirman],” kata dia.
Lebih lanjut Otto menjelaskan, penanganan perkara ini aneh dengan dinyatakannya Dani dan Andi sebagai tokoh fiktif. Pasalnya, dalam BAP dan dakwaan jelas disebutkan bagaimana perbuatan mereka dalam menghabisi Ekky dan Vina.
“Dikatakan semuanya ke-11 orang ini mempunyai peran masing-masing, di mana salah satu yang spesifik di sini, ada namanya Dani dan Andi yang dikataka buron lalu sekarang dikatakan fiktif,” ujarnya.
Dalam surat dakwaan para terdakwa sebelumnya, Andi dan Dani itu didakwa melakukan perbuatan memukul dan seterusnya. Dani dan Andi juga merupakan orang yang membawa Vina dan Ekky dari tempat kejadian perkara (TKP) ke jembatan atau playover di dekat tol tempat mayat kedua korban kemudian ditemukan oleh masyarakat.
Andi, Dani, Pegi, dan Rifaldi disebutkan menggunakan sepeda motor membawa kedua korban. “Katanya korban ini diapit di sepeda motor oleh masing-masing,” ujarnya.
Pertanyaanya, lanjut Otto, kalau di dakwaan dan dihukum karena perannya memulul dan seterusnya kemudian membawa korban dari TKP ke playover, tetapi sekarang penyidik mengatakan Andi dan Dani itu salah atau fiktif alias gaib. “Berarti perkara ini berpotensi fiktif dong,” katanya.
Menurut Otto, yang menjadi pertanyaan, lantas siapa sesungguhnya melakukan pemukulan dan yang membawa korban dari TKP ke playover itu. Sedangkan di dalam dakwaan, Dani dan Andi disebutkan ikut.
“Oke Perong tertangkap, tapi kalau dua orang ini betul fiktif, berarti cerita di dalam dakwaan ini kita duga fiktif karena dalam dakwaan ini merekalah yang membawa mayat itu dari TKP ke playover. Kalau mereka tidak ada bagaimana caranya mayat ini pindah ke playover kalau dua orang itu fiktif,” tandasnya.
Otto menyampaikan, banyak hal-hal yang janggal meski baru membaca dokumen kasus tersebut secara cepat, khususnya soal Dani dan Andi yang dinyatakan sosok fiktif atau gaib.
“Kalau Andi dan Dani fiktif, maka cerita yang ada dakwaan ini fiktif. Kalau ini fiktif berarti ini perkaranya jadi fiktif. Karena ada peran orang, yakni Andi dan Dani tapi ternyata orangnya tidak ada. Bagaimana ini bisa terjadi?” ucapnya.
Otto lebih lanjut menyampaikan, Peradi akan memberikan bantuan hukum probono atau cuma-cuma alias gratis kepada terpidana Sudirman setelah keluarga dia meminta agar Peradi memberikan bantuan hukum.
“Ini hal-hal yang kami lihat, untuk upaya kami mengajukan PK, tapi kami harus meneliti lebih dalam, ini baru analisis secara hukum bahwa ini keanehan sangat luar biasa kalau betul faktanya seperti itu,” ujarnya.
Untuk mendapatkan kuasa dari Sudirman, lanjut Otto, Peradi yang mempunyai sekitar 160 Pusat Bantuan Hukum (PBH) di berbagai daerah di Indonesia akan membentuk tim untuk menangani perkara Sudirman.
“Munurut mereka [keluarga Sudirman], Sudirman ini kurang di bawah rata-rata katanya. Jadi dia tidak bisa menceritakan dengan baik, makanya hanya tamatan SD doang,” katanya.
Kondisi tersebut akan dicek dengan meminta psikolog atau psikiater melakukan observasi untuk menentukan apakah Sudirman ini cakap dalam bertindak atau tidak.
“Dia [Sudirman] harus diberikan kebebasan untuk bisa memilih advokatnya,” katanya.