Bekasi, Gatra.com – Ketua Pembina Yayasan Brata Bhakti (Badan Penyelenggaran Ubhara Jaya), Jend. Pol. (P) Prof. Dr. Chairuddin Ismail, S.H, M.H., mensinyalir sengkarut penanganan kasus atau perkara pembunuhan Vina dan Ekky terjadi karena penyidik hanya berangkat dari keterangan saksi.
“Persoalannya saya lihata adalah apakah penyidik-penyidik awal itu menjadikan bukti-bukti hanya kesaksian,” kata Chairuddin Ismail dalam seminar bertajuk “Menakar Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia” di Kampus Ubhara Jaya, Bekasi, Kamis, (13/6).
Lebih lanjut Chairuddin Ismail sebagai pembicara kunci (keynote speaker) dalam seminar nasional gelaran Fakultas Hukum (FH) Ubhara Jaya ini menduga penyidik tidak didukung dengan bukti lainnya.
“Tidak dibandingkan dengan bukti fakta yang lain. Ini harusnya menjadi contoh,” ujarnya.
Karena itu, kasus pembunuhan Vina dan Ekky yang terjadi sekitar 8 tahun lalu dan telah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap bahkan orang-orang yang disangka tengah menjalani hukuman bahkan ada yan sudah bebas, kembali ramai dan menyita perhatian publik.
“Kita ambil contoh, misalnya kasus Vina, sudah diputus oleh pengadilan namun muncul belakangan ini. Di sini tentu kita harus berpikir,” katanya.
Menurut Chairuddin Ismail, seharunya kalau ada rekayasa di tingkat penyidikan, maka tahapan atau proses hukum selanjutnya, yakni penuntutan dan pengadilan harus bisa mencegah atau mengoreksi atau check and balace.
“Kalau ada rekayasa di tingkat penyikan tentu [harusnya] bisa diluruskan di pengadilan. Apalagi saksi-saksi semuanya sudah disumpah,” ujarnya.
Begitu juga, kemarin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memangggil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-Perjuangan, Hasto Kristiyanto dan menyita gawai atau handphone-nya
“Dia [Hasto] protes. Pemeriksaan penyidikan itu memang penting. Kalau kita tidak percaya itu maka harus ke mana mencari keadilan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, dalam kerangka penegakan hukum, dari awal Indonesia sudah memahami tugas dan fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, beserta peradilan, sehingga kewenangan itu dipisah-pisah.
“Dipisah dengan maksud agar masing-masing bisa mengontrol atau check and balance,” ujarnya.
Begitupun fungsi penegak hukum lainnya, yakni advokat atau pengacara, bertidak sebagai pengontrol dari tahapan-tahapan proses projustitia untuk menguji apakah semuanya sudah sesuai prosedur hukum atau tidak.
“Pengacara berfungsi untuk dapat menguji semua hasil-hasil itu dan memberikan pentunjuk kepada hakim agar dapat diambil keputusan yang adil sesuai dengan hukum dan keyakinan hakim,” katanya.
Namun demikian, meski di atas kertas sudah dinilai idel, tetapi pelaksanannya tidak sesuai ketentuan. “Kita dapat melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum dalam posisi yang belum optimal,” ucapnya.