Jakarta, Gatra.com – Ketua Tim Kuasa Hukum Darajat Syaiful, Ibnu Setyo Hastomo, menyampaikan, keberatan karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tiba-tiba mengksekusi rumahnya di Jalan Taman Radio Dalam VII, Gandaria Utara, Jaksel.
Ibu di Jakarta, Selasa, (9/7), menyampaikan, tim kuasa hukum bersama para ahli waris Hendi Hendarwan, di antaranya Darajat Syaiful keberatan atas eksekusi pengosongan rumah yang dilakukan pihak PN Jaksel tersebut karena beberapa alasan.
Pertama, kata dia, pemeriksaan objek perkara masih diperiksa oleh majelis halim sebagaimana tercatat pada perkara perdata Nomor 424/Pdt.Bth/2024/PN.Jkt.Sel yang pada saat ini agenda pemanggilan para pihak.
Kedua, atas putusan perkara perdata Nomor: 555/ Pdt.G/2023/PN.Jkt.Sel Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 642/PDT/2024/PT.DKI di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
“Saat ini diajukan upaya hukum kasasi pada Ketua Mahkamah Agung R.I melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ujar Ibnu.
Selanjutnya, pemblokiran atas SHM No. 354/Gandaria Utara pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan disebabkan masih ada sengketa sebagaimana teregister pada gugatan perlawanan Nomor 424/Pdt.Bth/2024/PN.Jkt.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga melapor kepada Kepolisian Daerah Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penipuan, tindak pidana penggelapan, tindak pidana pemalsuan surat, dan tindak pemalsuan akta otentik.
“Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHPidana, Pasal 372 KUHPidana, Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHpidana, dan atau Pasal 264 KUHPidana,” katanya.
Ibnu mengatakan, namun meski pihaknya masih melakukan upaya hukum dan perkaranya masih bergulur di pengadilan, PN Jaksel tetap melakukan eksekusi dan pengosongan rumah tersebut.
Ibnu menjelaskan, eksekusi tersebut dilakukan dengan alasan karena pemiliknya dianggap tak mampu melunasi utang yang ditimbulkan dari pembelian. Persoalan ini berawal saat pemilik rumah yang bernama Hendi Hendarwan menjual rumahnya.
Rumah tersebut dijual melalui perantara yang berinisial R dengan nilai penjualan mencapai Rp32 miliar. Perantara tersebut kemudian mendapatkan pembeli yang membayarkan uang muka (down payment atau DP) sebesar Rp4 miliar.
“Masuklah transferan dari pembeli dan pembelinya ini kami tidak tahu siapa,” kata Ibnu.
Saat uang telah diterima, sang perantara tersebut lalu meminjam uang sebesar Rp3 miliar kepada pemilik rumah dengan alasan untuk berbisnis. Bisnis tersebut diklaim bisa mendapatkan keuntungan Rp250 miliar.
Hendi hanya mengambil Rp800 juta dari jumlah DP yang dibayarkan oleh calon pembeli baru. “Ya sudah karena mungkin tipu muslihatnya atau bagaimana dia [perantara] merayu pemilik rumah kemudian memberikan Rp3 miliar,” kata dia.
Alih-alih mengembalikan uangnya, R kemudian mengajak Hendi ke notaris. Hendi mengira bahwa ajakan tersebut untuk menandatangani dokumen hak guna bangunan (HGB) atau akta jual beli.
Namun, nyatanya bukan HGB yang ditandatangani, tetapi akta pengakuan utang. “Pemilik rumah lama hanya mendapatkan Rp800 juta lalu dia tanda tangan akta bukan akta jual beli malah akta pengakuan utang,” katanya.
Ibnu menduga bahwa perantara dan calon pembeli rumah serta notaris telah bekerja sama untuk mengambil rumah tersebut. Rumah tersebut lalu didaftarkan untuk dilelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).