Home Gaya Hidup Menelusuri Jejak Rempah: Warisan Lada Gerem Pawiki dan Sejarah Perdagangan Lada Lampung

Menelusuri Jejak Rempah: Warisan Lada Gerem Pawiki dan Sejarah Perdagangan Lada Lampung

Lampung, Gatra.com - Petani di Gerem Pawiki, Desa Sukadana Baru, Lampung Timur masih menanam lada hingga hari ini. Desa ini merupakan wajah salah satu sumber rempah dunia. Provinsi Lampung memang sudah sejak lama dikenal sebagai pusat produksi lada hitam, bahkan ketenarannya terjadi sejak masa lampau.

Laskar Rempah, selaku peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) 2024, mendatangi Gerem Pawiki dalam salah satu target kunjungannya di Provinsi Lampung. Dalam kesempatan ini, Laskar Rempah yang berjumlah 29 orang dari berbagai provinsi di Indonesia melihat bagaimana keadaan ladang lada di masa kini.

Baca Juga: Negeri Katon sebagai Sentra Pembuatan Tapis Lampung

Salah seorang pengelola ladang lada di Gerem Pawiki, Agus Susanto, menjelaskan bahwa di desa ini lada menjadi sumber penghidupan sebagian besar masyarakatnya. Bahkan, dirinya bisa bersekolah hingga menyelesaikan studi pasca sarjana dari hasil menanam lada.

“Perkebunan lada di Gerem Pawiki ini sudah sejak lama ada. Ini bisa dibilang diwariskan dari orang tua saya. Masyarakat di sini hidup dari hasil perkebunan lada hitam,” kata Agus.

Saat ini para petani lada hitam di Gerem Pawiki langsung berkolaborasi dengan para eksportir untuk memasarkan hasil kebun mereka. Beberapa negara yang menjadi tempat ekspornya adalah Amerika Serikat, Finlandia, dan Inggris.

Agus Susanto di ladang lada (Gatra/Abdul Karim Ambari)

Meskipun terdengar sukses, ada masanya hasil perkebunan lada tidak baik. Penanaman lada sangat bergantung dari keadaan cuaca, jika dalam satu tahun ada panas yang baik dan tidak terhenti selama kurang lebih 3 bulan baru bisa dipastikan akan ada panen yang bagus. Tapi ketika curah hujan tinggi, bisa tidak panen atau hasil panennya tidak bagus.

“Mensiasatinya adalah kita memasang kebun pisang, kelapa di tengah-tengahnya. Jadi kebun lada ini bisa dijadikan tabungan. Nah di masa sulit kami bisa bertahan dengan pisang, kelapa, jahe dan semacamnya,” jelas Agus.

Di Gerem Pawiki ada 700 an petani lada. Rata-rata penduduknya masih konsisten menanam lada karena dari perkebunan inilah mereka bisa menghidupi kehidupannya. “Semua kebun lada tidak akan dihilangkan oleh masyarakat di sini,” katanya.

Lampung dalam sejarah perdagangan lada selama lebih kurang dua abad

Lampung merupakan wilayah yang memiliki kontribusi dalam sejarah perdagangan dan jalur rempah Nusantara, khususnya lada, selama lebih kurang dua abad. Salah satu sumber tua mengenai lada yaitu Suma Oriental Time Pires yang ditulis di Malaka antara tahun 1512-1515 menyebutkan bahwa ada dua daerah yang menghasilkan lada di daerah ini, yakni Cacampom (Sekampung) dan Tulimbavam (Tulangbawang).

Abdul Rahman Hamid, Dosen Sejarah UIN Lampung dan salah satu pakar yang mengikuti pelayaran MBJR 2024 menjelaskan bahwa lada dibawa oleh penduduk menggunakan perahu lanchara untuk dijual ke Banten dan Jawa. Lada (piper nigrum) merupakan jenis tanaman rambat yang dibawa oleh pelaut dan pedagang India ke Nusantara lewat Samudera Pasai dan Pidie sekitar abad ke-13.

Abdul Rahman Hamid (Gatra/Abdul Karim Ambari)

Iklim Lampung yang panas dan lembab dianggap sangat cocok untuk membudidayakan lada. “Daerah Abung, berdekatan dengan Sungkai dan Besai, merupakan area produksi lada terbaik, begitu pula daerah perbukitan di bagian baratnya, tulis Broersma dalam De Lampoengsche Districten,” jelas Abdul Rahman.

Hingga ini, belum ada jenis komoditi niaga yang punya daya ungkit luar bisa terhadap sejarah Lampung melampaui lada. Lada lah yang membuat Lampung mendunia. Jejaknya pun dapat ditemukan dalam berbagai warisan kesenian, budaya, dan politik Lampung.

Lebih lanjut dijelaskan Abdul Rahman, lada Lampung merupakan lada terbaik di dunia, setelah lada dari Kerala India Selatan. Kalau merujuk catatan Tome Pires, lada Lampung mulai dibudidayakan sekitar paruh kedua abad ke-15.

“Sejak abad ke-16, tidak ada kekuatan ekonomi dan politik dominan lokal yang mampu mengendalikan produksi dan perdagangan lada. Tak heran bila lada Lampung diperebutkan di antara kekuatan politik sekitarnya, terutama Banten yang pada awal abad ke-16 telah tumbuh menjadi pelabuhan niaga lada, serta Palembang,” jelasnya.

Baca Juga: Museum Transmigrasi Lampung, Menelusuri Jejak Sejarah Transmigran di Indonesia

Ketika Banten menjadi kota pelabuhan dunia pada abad ke-17, sumber utama lada yang diekspor ke luar negeri berasal dari Lampung, yakni sekitar 80-90 persen. Untuk memastikan ketersediaan lada bagi pelabuhannya, Sultan Banten mewajibkan setiap pria Lampung yang sudah menikah menanam 1.000 pohon lada dan yang belum menikah sebanyak 500 pohon.

Sultan Banten menempatkan empat pejabatnya, yang disebut jinjem, di Menggala (Tulang Bawang), Semangka, Seputih, dan Teluk Betung. Tugas mereka adalah memastikan bahwa penduduk menanam, merawat, dan menjual lada kepada Banten dengan harga yang telah ditentukan dan murah.

Perkebunan lada di desa Gerem Pawiki, Sukadana, Lampung (Gatra/Abdul Karim Ambari)

Sultan Banten memberikan gelar kehormatan dan piagam kepada para pemimpin Lampung yang membawa banyak lada ke Banten. Bahkan, penyelesaian masalah lokal pun tak lepas dari seberapa banyak lada yang dapat diberikan kepada Banten.

Selain Banten, Palembang juga berupaya mendapatkan lada Lampung. Dengan bantuan Palembang, penduduk di sepanjang Sungai Tulang Bawang menggali kanal untuk menyatukan Wai Umpu dan Tulang Bawang agar memudahkan pedagang lada menghindari pos dagang Banten. Sultan Palembang memberikan sejumlah gelar (Raja Alam, Aria, dan Pangeran) kepada para pemimpin Pakuan, Pagar Dewa, dan Menggala.

Kendatipun demikian, pengaruh Banten begitu kuat terhadap penduduk Lampung, sehingga lada Lampung lebih banyak dibawa ke Banten. Itulah sebabnya, VOC Belanda yang juga ingin mendapatkan lada Lampung memanfaatkan konflik internal Banten. “Belanda mendukung usaha pangeran Banten, Sultan Haji, merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa yang pada saat itu dibantu oleh Inggris, Portugis, dan Denmark,” kata Abdul Rahman.

Setelah Sultan Haji berhasil merebut takhta Banten, perdagangan lada Lampung berada di bawah pengaruh Belanda. Selanjutnya Belanda membangun benteng di Menggala dan Semangka di bawah pimpinan dua residen untuk mengontrol jaringan perdagangan lada. Walhasil, Lampung menjadi sumber utama lada bagi VOC di Batavia.

260