Home Hukum DPR Bak Dapat Cek Kosong, Omnibus Law Rawan Pasal Titipan

DPR Bak Dapat Cek Kosong, Omnibus Law Rawan Pasal Titipan

Yogyakarta, Gatra.com - Proses pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law pada Senin (5/10) seperti memberikan cek kosong pada anggota DPR sehingga pasal titipan rawan masuk ke UU itu.

Hal itu disampaikan pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Zainal Arifin Mochtar saat jumpa pers daring FH UGM, Selasa (6/10), menyikapi pengesahan RUU Cipta Kerja.

“RUU ini dibuat lewat proses bermasalah. UU dibuat tanpa partisipasi, tanpa aspirasi. Hanya pihak tertentu yang didengarkan. Ini mirip bikin skrispi, disertasi, tesis yang sudah punya kesimpulan dan hanya mencari data yang mendukung,” tuturnya.

Menurutnya, subtansi pembahasan RUU tak pernah disebar ke publik sesuai tata tertib. Cacat formil ini diperpajang saat draf terakhir RUU tidak dibagikan ke anggota DPR.

“Rapat paripurna kemarin (DPR) seperti menerima cek kosong. Draf tak dibagikan dan anggota dewan tidak tahu apa yang mau dikomentari,” ujar mantan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM ini.

Ia menjelaskan, meski telah disetujui dan disahkan DPR, UU Cipta Kerja masih mengalami perbaikan melalui sejumlah penyelarasan dan pembetulan salah ketik.

“Saya khawatir pasal selipan masih bisa masuk. Kita harus lihat baik-baik setelah persetujuan. Jangan sampai masuk (pasal) titipan, seperti UU Pemilu,” kata Zainal.

Dengan demikian, tugas publik untuk memantau proses UU ini sampai diundangkan belum selesai. “Kita berharap tekanan publik yang kuat. Kita harus teriakkan bersama lewat pembangkangan sipil atau apa pilihannya. Kalau tekanan publik kuat, ini bagian partisipasi di tahap pengesahan,” kata Zainal.

Ia tak yakin Presiden Joko Widodo mau mengubah sikap karena tekanan publik. Meski Jokowi berubah sikap pun dan tak meneken, UU itu akan tetap berlaku.

“Pilihan terakhir judicial review. Ini harus dilakukan karena UU ini secara nyata membelakangi kehendak publik. Ini saya sebut legislasi menyebalkan. Kita sudah kalah tiga kali sejak UU KPK, UU MK, dan UU Minerba,” tuturnya.

Sebelumnya Dekan FH UGM Sigit Riyanto menyatakan paradigma UU ini mengarahkan negara untuk mengelola sumber daya secara ekstraktif.

“Ini sangat berbahaya dan bertentangan dengan arus global di mana pengelolaan negara secara inovatif dan memperhatikan aspek lingkungan,” kata dia.

Menurutnya, pendekatan UU Cipta Kerja cenderung liberal kapitalistik dan tidak sesuai dengan roh konstitusi dan spirit pendiri bangsa. UU ini juga mengesampingkan perlindungan terhadap warga bangsa.

“Penyusunan UU itu tunduk pada kaidah dan cara tertentu yang mengacu pada peraturan hukum yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan dan visioner. Sayangnya, dalam proses UU ini, suara, kertas kerja dari akademisi, dan masukan masyarakat sipil sudah diberikan, tapi tidak terakodomasi bahkan dikesampingkan,” tuturnya.

333