Home Kolom Jejak Ponten Masa Mangkunegara VII

Jejak Ponten Masa Mangkunegara VII

Mangkunegara VII lahir pada tahun 1885. Perjalanan karir kebangsawanannya berbekal dengan serap pengalaman melalui blusukan langsung ke seantero Pulau Jawa. Aktivitas itu dilakukannya sebelum naik tahta pada tahun 1916 pada usia yang terbilang muda, yakni 15 tahun. Saat blusukan, Mangkunegara VII muda lebih suka secara incognito dan memakai nama alias “Soeparto” yang diambil dari nama lahir beliau, yaitu Soerjosoeparto.

Sesekali Mangkunegara VII muda menumpang kereta api kelas III saat keliling blusukan dilanjutkan dengan banyak berjalan kaki mengunjungi desa-desa. Sajian makanan yang dinikmatinya dalam perjalanan blusukan sekadarnya, terkadang ikut sajian pemberian penduduk. Apabila tak beruntung mendapat tumpangan menginap di rumah kepala desa, Mangkunegara VII muda menginap di rumah penduduk atau bahkan seringkali di pinggir jalan.

Pengembaraan itu membuat Soeparto melihat langsung dan mengenali wilayah-wilayah yang disinggahinya berikut kondisi masyarakat di dalamnya. Dia merasakan perasaan sebagian besar wong cilik. Di Demak, Mangkunegara VII muda menetap dan mendapat pekerjaan sebagai juru tulis, lalu mantri.

Saat menjadi mantri itulah Soeparto mengetahui kondisi kesehatan masyarakat yang tengah terkena wabah Kolera gelombang keenam (Historia, 2019). Pengalaman yang dia lihat di Demak membangun memorinya dan nyata memiliki tanda peristiwa ke dalam memorinya. Memori akan peristiwa wabah Kolera di Demak membuahkan monumen ingatan yang diejawantahkan dalam sebuah konsep bangunan luar biasa yang dibangun pada tahun 1939 di daerah yang sekarang secara administraif masuk kawasan Kelurahan Stabelan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Bangunan tersebut bernama Ponten, diserap dari kata Belanda, fontein, yang berarti air pancuran.

Bangunan Ponten saat ini masih bisa dikunjungi. Ponten dirancang oleh arsitek Belanda Thomas Karsten dengan memadukan gaya arsitektur modern dan tradisional. Bangunan ini tidak beratap dan tidak memiliki daun pintu, memiliki dua ruang di sisi kiri dan kanan. Untuk menuju dua ruang tersebut harus melewati gang yang menyerupai labirin. Setiap ruang memiliki tujuh kamar mandi kecil dengan kamar mandi besar di tengah.

Ruang sisi kanan memiliki sebuah toilet yang dipisahkan dengan dinding. Setiap ruang terhubung ke sumur yang terletak di luar bangunan. Di bagian depan ponten terdapat 3 kamar mandi kecil dan 1 buah kamar mandi besar dengan bak air berukuran 4 meter x 4 meter dalam ukuran ketinggian 1,5 meter. Limbah yang berasal dari Ponten ini dibuang langsung ke Sungai Pepe di dekatnya.

Terselip harapan dalam pembangunan Ponten yang memiliki fungsi sebagai tempat penduduk pribumi mandi, cuci, dan kakus. Penduduk tidak perlu melakukan aktivitas mandi, cuci, dan buang air kecil maupun besar di sungai lagi. Sistem pengelolaan limbah cair sejak dini mulai tergagas oleh langkah Mangkunegara VII ini. Pengelolaan sungai menjadi salah satu prioritas dari Mangkunegara VII.

Kita perlu belajar dari langkah Mangkunegara VII dalam hal pembangunan Ponten sebagai sebuah penanda peristiwa dan membangun memori dalam rangkaian upaya pemecahan masalah publik, salah satunya dalam persoalan gelombang pandemi Covid-19 yang belum kita ketahui kapan usainya. Penanganan Covid-19 harus menggunakan cara dengan mengubah habitus. Habitus merupakan "struktur mental atau kognitif" yang digunakan individu untuk menghadapi dunia sosial. Individu pada dasarnya dibekali serangkaian skema dan pola yang dengannya ia merasakan, memahami, menyadari, menilai dan mengevaluasi dunia sosial, masyarakat dan orang lain, bahkan habitus membentuk gaya hidup individu atau kelas (Bourdieu, 1984).

Menurut Pierre Bourdieu, salah satu cara untuk mengubah Habitus dengan melalui dua pendekatan, yaitu penyuluhan dan penegakan hukum. Berkenaan dengan penanggulangan Covid-19 di Indonesia yang sudah setahun berjalan ternyata kegiatan penyuluhan belum begitu manjur untuk mengubah habitus masyarakat, padahal upaya penyuluhan sudah dilakukan oleh banyak stakeholder. Di sisi penegakan hukum masih nampak belum konsisten dan maju mundur. Masyarakat justru makin abai terhadap pelaksanaan protokol kesehatan pencegahan penyebaran virus Covid-19. Sulit.

Pengalaman pribadi penulis menemukan masyarakat lokal yang sering berkumpul tanpa mengenakan masker. Pasca muncul kasus pertama di lingkungan sekitar nampak tak membuat mereka takut dan jera untuk kembali berkerumun tanpa prokes hingga muncul kasus kedua dengan pasien Covid-19 meninggal dunia. Mengapa mereka abai? Bourdieu mengatakan bahwa salah satu faktor mengubah habitus adalah trauma secara langsung.

Pengalaman yang ada di depan mata penulis nampak memperlihatkan bahwa hal yang terjadi bukanlah trauma langsung bagi mereka. Sehingga, mereka berani tanpa masker, berkerumun dan bermain bersama. Untuk itu, perlu upaya lebih lanjut dalam mengubah habitus masyarakat tersebut. Salah satunya berkenaan dengan perubahan materiil dalam masyarakat.

Memakai masker, dan menyediakan tempat cuci tangan adalah perubahan materiil yang terjadi di masyarakat dalam masa pandemi Covid-19 saat ini. Namun dua perubahan materiil itu saja ternyata tidak cukup. Perlu perubahan materiil yang cukup signifikan di mana nantinya kuasa simbol dapat berjalan untuk mengubah habitus. Kuasa simbol adalah bentuk kekuasaan yang membentuk hal-hal tertentu lewat ujaran, membuat orang percaya, untuk memperkuat atau mengubah cara pandang terhadap dunia, sebuah kekuasaan yang (nyaris) magis yang memungkinkan seseorang mendapat hasil yang sama seperti yang diperoleh lewat paksaan.

Dan yang terpenting, kuasa simbol hanya bisa dijalankan ketika ia tidak langsung dikenali keberadaannya (Bourdieu, 2014). Maka kuasa simbol dapat dibangun dalam memori yang terus-terusnya membuat individu mengingat suatu peristiwa. Hal ini dapat dilakukan dalam sebuah penanda peristiwa dengan membangun sebuah monumen yang berkaitan dengan Covid-19. Persis seperti yang dilakukan oleh Mangkunegara VII pada tahun 1936 di Kota Surakarta (Solo).

Berkaca pada apa yang dilakukan oleh Mangkunegara VII, pembangunan sebuah monumen adalah salah satu langkah untuk mengubah habitus dalam masyarakat. Untuk mencegah total suatu wabah memang diperlukan waktu yang sangat lama. Untuk mencegah wabah kolera sendiri, pendirian satu ponten saja tidak cukup. Ponten hanya sebagai salah satu pemantik gagasan untuk mengurai permasalahan yang terjadi kala waktu itu. Pasca terbangun Ponten muncul program-program menyoal sanitasi, seperti pengadaan MCK umum, bantuan pembuatan sumur, arisan jamban, hingga dewasa ini seperti pengelolaan limbah cair komunal.

Begitu juga dengan Covid-19 ini, penanganannya dibutuhkan waktu yang panjang. Agar masyarakat tidak lupa begitu dan mengalami short memory syndrome maka monumen dalam mengingatkan memori akan suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam peradaban manusia. Pembangunan materiil sebagai bentuk atas kuasa simbol adalah faktor penting untuk mengubah habitus.

Tiyas Nur Haryani, S.Sos, M.Si
Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret

574