Home Internasional Krisis Myanmar, ATM Kosong Rakyat Harus Antre Berjam-jam untuk Tarik Tunai

Krisis Myanmar, ATM Kosong Rakyat Harus Antre Berjam-jam untuk Tarik Tunai

Yangon, Gatra.com - Antrean orang-orang tampak mengekor di depan mesin ATM di sejumlah titik di kota Yangon. Mereka yang ingin melakukan melakukan penarikan tunai bahkan sudah ada yang mulai mengantre sejak pukul 03.30 pagi. Menjelang subuh, antrean sudah membengkak hingga lebih dari 300 orang.

Hingga siang hari, saat suhu telah mencapai lebih dari 38 derajat Celcius, banyak orang yang masih mengantre sembari berharap dapat menarik uang dari rekening bank mereka sendiri. Pasalnya banyak orang yang gagal menarik uang meski telah berjam-jam mengantre, lantaran jumlah uang tunai di mesin ATM tersebut akhirnya telah habis terlebih dahulu.

Sejak junta militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada Februari lalu, rakyat Myanmar telah dihadapkan oleh masalah kelangkaan uang tunai. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Junta Militer telah menerapkan kebijakan mengisi mesin ATM yang dipilih secara acak dengan uang tunai setiap harinya. Kemudian membatasi jumlah penarikan maksimal sekitar 120 dolar AS per hari.

Myanmar tengah menghadapi kejatuhan ekonomi yang melahirkan sejumlah konsekuensi. Dengan kekurangan uang tunai, masyarakat tidak dapat menarik tabungan mereka, pelaku usaha tidak dapat membayar biaya operasional bisnis, pekerja dan kredit mereka. Kondisi tersebut akhirnya membuat banyak pinjaman dan hutang menjadi tidak terbayarkan.

Saat ini tercatat tak lebih dari 100 mesin ATM yang setiap harinya rutin diisi uang tunai di Myanmar. Di Yangon, dengan populasi 5 juta orang, hanya sekitar dua lusin ATM yang tersedia setiap harinya. Sementara di Mandalay, dengan populasi sekitar 1,5 juta orang, hanya selusin mesin yang tersedia.

Penimbunan mata uang telah menyebar luas, dan kini banyak transaksi hanya bersedia menerima pembayaran tunai, menolak pembayaran transfer bank digital. Kondisi ini pun melahirkan para broker pembayaran yang menyediakan jasa penukaran uang tunai sebagai ganti transfer online dengan komisi 7 persen-15 persen. Akibatnya, saat ini di Myanmar nilai uang tunai menjadi lebih tinggi dibanding nilai uang yang tertera secara digital.

Para ahli memperingatkan bahwa negara itu sedang jatuh ke dalam krisis keuangan besar-besaran. Nilai kyat, mata uang Myanmar, telah anjlok 20 persen terhadap dolar AS. "Saat ini, semuanya dibekukan," ujar Richard Horsey, penasihat senior Myanmar untuk International Crisis Group, Ahad (08/08). "Ini krisis ekonomi yang dalam. Ini masalah kepercayaan pada rezim, bank, dan ekonomi." tambahnya.

Ekonomi Myanmar mulai berkembang sekitar satu dekade lalu, sejak para jenderal mengendurkan cengkeraman mereka di negara itu setelah hampir 50 tahun Junta Militer berkuasa. Kemajuan itu berbalik secara drastis seiring kembalinya militer ke tampuk kekuasaan pada bulan Februari lalu.

Kepercayaan masyarakat pada bank pemerintah dan swasta telah tergerus pascakudeta dan pembunuhan sedikitnya 945 orang selama demonstrasi. Gerakan protes anti-kudeta dan pemogokan umum telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian, termasuk menutup hampir semua cabang bank negara itu pada bulan-bulan awal setelah pengambilalihan kekuasaan oleh militer. Junta Militer juga dianggap salah langkah dengan melakukan pembatasan terhadap transaksi online. Langkah tersebut dinilai turut memicu krisis.

Pada pertengahan Maret, Junta mencoba melumpuhkan gerakan pembangkangan sipil dengan mematikan akses internet seluler. Langkah ini membuat tertutupnya akses transfer bank ponsel yang merupakan cara pembayaran yang lazim digunakan oleh mayarakat. "Ketika bank tutup, ada ketakutan umum tidak bisa mendapatkan uang tunai," kata Vicky Bowman, mantan duta besar untuk Myanmar dari Inggris. "Kemudian pemerintah memperburuknya dengan mematikan internet seluler. Itu semakin meningkatkan keinginan untuk memiliki uang tunai." tambahnya.

Di daerah pedesaan, di mana uang tunai bahkan lebih langka jumlahnya, sejumlah masyarakat telah beralih ke pemabayaran barter. Mereka memperdagangkan bahan pangan yang mereka tanam melalui sistem barter dengan jenis makanan lain atau untuk layanan seperti perawatan medis, karena Myanmar saat ini tengah menghadapi lonjakan kasus virus Covid-19. Di perkotaan, sejumlah orang juga mulai menawarkan secara daring untuk menukar barang-barang seperti sepeda motor atau kamera dengan oksigen.

Sementara itu, seorang juru bicara junta, Jenderal Zaw Min Tun, menyalahkan terjadinya krisis keuangan akibat hilangnya aktivitas perekonomian buntut dari penutupan perbatasan selama masa pandemi. Dirinya pun menuturkan bahwa masalah kelangkaan uang tunai akan dapat diselesaikan pada bulan ini.

Sebagai informasi, sebelumnya perusahaan Jerman Giesecke+Devrient, memasok bahan baku pencetakan uang bagi Myanmar. Hanya saja mereka menghentikan semua pengiriman pada bulan Maret lalu sebagai aksi protes atas tindakan kekerasan militer terhadap warga sipil.

Para pejabat di Myanmar mengkonfirmasi Bank Sentral telah mulai mencetak uang baru. Uang kertas baru yang dicetak tampak sedikit berbeda. Diyakini unag-uang kertas yang mulai beredar pada bulan Juni itu dicetak oleh Cina. "Memang benar Bank Sentral sedang mencetak uang kertas baru," kata wakil presiden Bank Sentral Myanmar, Win Thaw. "Itu dihitung sesuai dengan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal guna mencegah inflasi."

"Nilai mata uang Myanmar turun, tetapi belum mencapai titik terendah," kata Hein Maung, seorang ekonom dan mantan peneliti di lembaga kebijakan ekonomi di Yangon. "Krisis hanya bisa diselesaikan dengan perubahan politik."

Menurutnya Junta tidak mungkin dapat keluar dari krisis ekonomi. Dia memperkirakan krisis keuangan akan semakin parah dalam beberapa bulan mendatang.

2158